Jumat, 11 April 2014

“HUKUM INTERNASIONAL” Drs. T. May Rudy, SH., MIR., M.Sc.

RESUME

HUKUM INTERNASIONAL
Drs. T. May Rudy, SH., MIR., M.Sc.

Dosen : Drs. H.Munawar Rois., M.Pd


Di Susun Oleh :


Agus Syahryal
NPM : 01020201090161











PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
Kampus : Jl. Pasir Gede Raya Telp. (0263) 270106 – 268672 Cianjur 43216



BAB I
SUBJEK DAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

A.    DEFINISI HUKUM INTERNASIONAL
1.      Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja
Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara
a.       Negara dengan Negara
b.      Negara dengan subjek hokum lain bukan Negara atau subjek hokum bukan Negara, satu sama lain.
2.      J.G. Starke
Hukum internasional sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara. Oleh karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antarnegara satu sama lainnya.

B.     HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM DUNIA
Hukum internasional didasarkan pada pemikiran :
a.       Masyarakat Internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (independen) dalam arti masing-masing berdiri sendiri tidak dibawah kekuasaan yang lain (Multi State System)
b.      Tidak ada suatu badan yang berdiri daitas suatu negara, baik dalam bentuk negara (world State) maupun badan supranasional yang lain.
c.       Merupakan suatu tertib hukum koordinasi koordinasi antara anggota masyarakat internasional sederajat. Masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mengikat secara koordinatif untuk memelihara dan mengatur berbagai kepentingan bersama.



Hukum dunia berpangkal kepada pemikiran yang lain :
a.       Banyak dianalogikan dengan hukum tatanegara, hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini.
b.      Negara dunia secara herarki berdiri diatas negara-negara nasional.
c.       Hukum dunia merupakan suatu tertib hukum sub-ordinasi.
Kita memilih konsep hukum internasional karena tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang terdiri dari anggota yang sederajat lebih sesuai dengan kenyataan dewasa ini.

C.    SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
Subjek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Subjek hukum internasional tersebut adalah:
1.      Negara
Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan hingga sekarangpun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu merupakan hukum antar negara.

2.      Tahta Suci Vatikan
Tahta suci Vatikan merupakan salah satu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dulu di samping negara. Hal ini merupakan peninggalan (atau kelanjutan) sejarah jaman dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala geraja Roma tetapi memiliki juga kekuasaan duniawi. Tahta suci merupakan salah satu subjek hukum internasional yang sejajar kedudukannya dengan negara. Sebagai salah satu contoh lainnya dapat disebut suatu entitas yang bernama 'Order of the Knights of Malta" Entitas ini hanya diakui oleh beberapa negara sebagai subjek hukum internasional.

3.      Palang Merah Internasional
Organisasi ini sebagai salah satu subjek hukum internasional (Yang terbatas) lahir karena sejarah namun kedudukannya diperkua dalam perjanjian. Sekarang palang merah Internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional tersendiri walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas.

4.      Oraganisasi Internasional
Organisasi Internasonal seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan anggaran dasarnya.

5.      Individu
Individu sudah lama menjadi sumber hukum internasional, yang antara lain terdapat dalam:
a.       Perjanjian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri perang dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu mengajukan perkara ke Mahkamah Arbitrase Internasional.
b.      Perjanjian antara Jerman dan Polandia tahun 1922 mengenai Upper Silesia.
c.       Keputusan mahkamah internasional permanen dalam perkara yang menyangkut pegawai kerata api Danzig.
d.      Keputusan organisasi regional dan transnasional seperti PBB, ILO, Masyarakat Eropa, dan lain-lain.
Berdasarkan peradilan Nurenberg dan Tokyo (1946), individu dapat dianggap langsung bertanggungjawab sebagai individu bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia tidak dapat berlindung lagi dibelakang negaranya. Azas hukum ini kemudian kemudian dituabgkan dalam "UN Draft Code Of Offences Against Tha Peace and Security of Mindkind" yang disusun oleh International Law Commission. Perkembangan untuk meletakan tanggung jawab langsung atas pelanggaran hukum internasional sikukuhkan dalam Genocide Convention (Konvensi tentang pembunuhan masal manusia) yang telah diterima oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Menurut ketentuan dalam Konvensi ini, individu-individu yang telah terbukti melakukan GEnocide harus dihukum, terlepas dia melakuakn hal tersebut sebagai individu, pejabat pemerintah, pemimpin pemerintah, atau negara.

6.      Pemberontak dan pihak dalam sengketa (Belligerent) menuru hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dengan syarat dan keadaan tertentu.

D.    SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Dalam hukum internasional ada dua tempat yang menunjuk atau mencantumkan secara tertulis sumber hukum dalam arti formal yaitu pasal 7 Konvensi Den Haag XII tanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tanggal 26 Juni 1945.
Bagi hukum internasional Positif hanya Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sajalah yang penting. Pasal 38 Ayat (1) mengatakan bahwa, dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan :
1.      Perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa. Perjanjian internasional adalah perajanjian yang diadakan antara oleh anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.Jadi termasuk di dalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antar organisasi internasional dengan organisasi lainnya. Juga yang dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan oleh Tahta Suci Vatikan dengan negara-negara. Sebaliknya tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional dalam arti diutarakan di atas perjanjian tidak adil (unequal treaties) yang pernah diadakan dimasa lampau, contohnya serikat-serikat dagang yang besar, seperti east india company dan verenigde oost Companie dengan kepala-kepala negara bumi putera.

2.      Kebiasaan-Kebiasaan Internasional, (Intenational Custom, as evidence of a general practice accpeted as law)
Untuk dapat dikataka kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum internasional, harus dipenuhi unsur sebagi berikut:
a.       Harus terdapat suatu kebiasaan internasional yang bersifat umum, dan diterapkan berulang dari masa ke masa.
b.      Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.
Contoh dari kebiasaan internasional : memberi perlindungan kepada utusan yang dikirim untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh, perlakuan tawanan perang menurut perikemanusiaan, penggunaan karpet warna merah bila menerima kunjungan kepala negara asing.

3.      Pinsip-Prinsip Umum Hukum (General principles of law recognized by civilized nations)
Yang dimaksud dengan asas umum hukum adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern (Hukum modern : sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar atas asas dan lembaga hukum romawi. Adanya asas hukum ini sangat penting bagi perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Dengan adanya sumber hukum ini, mahkamah tidak bisa menyatakan 'not liquet' yakni menolak mengadili perkara karena tidak ada hukum yang mengatur persoalan yang diajukan. Kedudukan mahkamah internasional diperkuat dengan adanya sumber hukum ini.

4.      Sumber Hukum Tambahan: Yurisprudensi dan doktrin para sarjana terkemuka di dunia.
Sumber hukum tambahan ini maksudnya adalah, Yurisprudensi dan Doktrin dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengedai adanya persoalan yang didasarkan atas sumber primer. Yurisprudensi dan doktrin ini tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan kaidah hukum.

5.      Keputusan badan perlengkapan (organs) organisasi dari lembaga internasional.
Pertumbuhan lembaga dan organisasi internasional dalam 50 tahun terakhir telah mengakibatkan timbulnya berbagai keputusan, baik dari badan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari lembaga internasional itu yang tidak dapat diabaikan dalam suatu pembahasan tentang sumber hukum internasional, walaupun mungkin keputusan demikian belum dapat dikatakan merupakan sumber hukum internasional dalam arti yang sesungguhnya.




















BAB II

A.    Hakekat Negara Menurut Hukum Internasional
Negara merupakan subjek utama utama dari hukum internasional, baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara historis yang pertama-tama merupakan subjek hukum internasional pada awal mula lahir dan pertumbuhan hukum internasional adalah negara. Peranan negara lama-kelamaan juga semakin dominan oleh karena bagian terbesardari hubungan hubungan internasional yang dapat melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional dilakukan oleh negara-negara. Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh dikatakan bagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara.
Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya adalah, negara memiliki apa yang disebut "kedaulatan" atau sovereignity. Kedaulatan yang artinya “kekuasaan tertinggi", pada awalnya diartikan sebagai suatu kedaulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Akan tetapi kini arti dan makna dari kedaulatan itu telah mengalami perubahan. Kedaulatan tidak lagi dipandang sebagai seatu yang bulat dan utuh melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tuntuk pada pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan itu sendiri tidak lain adalah hukum internasional dan kedaulatan dari sesama negara lainnya. Suatu negara yang berdaulat, tetap tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lainnya.
Manifestasi dari kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua sisi yaitu sisi intern dan sisi ekstern. Sisi intern berupa kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara itu sendiri. Sedangkan sisi ekstem, brupa kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan negara lain atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Wujud nyata dari sisi intern kedaulatan tersebut dapat kita lihat pada bentuk negara maupun bentuk pemerintahannya, di mana antara negara yang satu dengan negara yang lain bisa saja berbeda-beda, ada negara yang berbentuk kesatuan, federasi atau bentuk lainnya.
Namun hal pokok yang perlu mendapat penegasan di sini adalah pengertian negara itu sendiri. Tegasnya apakah yang dimaksud dengan negara itu? Pertanyaan ini memaksa kita untuk memberi definisi tentang apa yang disebut negara. Berdasarkan definisi itulah bisa ditarik atau dikemukakan kualifikasi atau unsur-unsur yang harus dipenuhi agar sesuatu itu dapat disebut atau digolongkan sebagai negara.
Sebenamya cukup sukar untuk memberikan suatu rumusan atau definisi yang tegas tentang negara ini, sebab negara memiliki banyak dimensi dan dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu sosial dan lain-lainnya. Sehingga pengertian negara itu bisa saja berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu sebaiknya masalahnya dipersempit dengan membatasi menurut ilmu hukum, khususnya hukum internasional. Apakah yang dimaksud dengan negara menurut hukum internasional?
Sepanjang pengamatan, para sarjana hukum internasional tampaknya menghindarkan diri dari usaha mendefinisikan negara tersebut. Kebanyakan di antara para ahli hukum internasional hanya menggunakan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu kelompok masyarakat dapat disebut sebagai negara. Demikian pula konvensi-konvensi internasional boleh dikatakan tidak ada satupun yang merumuskan di dalam salah satu pasalnya tentang apa yang disebut negara, sudah demikian umum dikenal sehingga dirasakan tidak perlu didefinisikan lagi.
Tetapi ada sebuah konvensi internasional yang secara tegas merumuskan kualifikasi tentang suatu negara, yakni Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-Hak dan Kewajiban Negara.
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-hak dan Kewajiban Negara (yang ditandatangani Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin) mengemukakan karakteristik sebagai berikut :

The state as a person of international law should prosses the following qualification:
  1. A permanent population;
  2. a defined teritory;
  3. government;
  4. capacity to enter into relation with the other states.
Dari segi hukum internasional, syarat (capacity to enter into relation with the other states) merupakan syarat yang paling penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan ekstern dengan negara-negara lain. Hal inilah yang membedakan negara dalam arti sesungguhnya dari unit-unit yang lebih kecil seperti anggota suatu federasi, atau protektorat, yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar negerinya sendiri dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang sepenuhnya mandiri.
Konsepsi Kelsen mengenai negara, menekankan bahwa negara merupakan suatu gagasan teknis yang semata-mata menyatakan fakta bahwa serangkaian kaidah hukum tertentu mengikat sekelompok individu yang hidup di dalam suatu wilayah teritorial terbatas, dengan perkataan lain, negara dan hukum merupakan suatu istilah yang sinonim.

B.     Hak-hak Dan Kewajiban-Kewajiban Dasar Negara-Negara
Berdasarkan American Institute of International Law pada tahun 1916, Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-Hak dan Kewajiban-kewajiban Negara, dan dalam Draft Declaration on the Right and Duties of State yang disusun oleh Komisi Hukum lnternasional PBB tahun 1949 :
1.      Hak-hak dasar yang paling sering ditekankan, yaitu:
  1. Hak kemerdekaan;
  2. Hak persamaan negara-negara atau persamaan derajat;
  3. Hak yurisdiksi teritorial;
  4. Hak membela diri atau hak mempertahankan diri

2.      Kewajiban-kewajiban dasar yang ditekankan, yaitu
  1. Kewajiban untuk tidak mengambil jalan kekerasan atau perang
  2. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban traktat dengan itikad baik.
  3. Tidak mencampuri urusan negara lain.

C.    KEDAULATAN NEGARA SERTA KEWAJIBAN KORELATIF YANG MEMBATASI KEDAULATAN NEGARA

Suatu Negara dianggap memiliki kemerdekaan dan kedaulatan terhadap warga-warga negaranya dan urusan-urusannya serta dalam batas-batas wilayah tetorialnya.
Apabila kita mengatakan bahwa suatu Negara tertentu merdeka, maka dengan cara kongkret kita dapat memberikan sejumlah atribut seperti hak, kekuasaan, dan hak-hak istimewa menurut hokum internasional kepada Negara tersebut. Hak-hak dan lain-lainnya ini, serta kewajiban-kewajiban yang berkaitan merupakan substansi pokok dari kemerdekaan Negara.
1.      Contoh-contoh hak dan lain-lain itu, yang berkaitan dengan kemerdekaan Negara-negara adalah :
a.       Kekuasaan eksekutif untuk melakukan control terhadap urusan-urusan dalam negerinya;
b.      Kekuasaan untuk memberikan izin masuk dan mengusir orang-orang asing;
c.       Hak-hak istimewa duta-duta diplomatiknya di Negara-negara lain;
d.      Yurisdiksi tunggal terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayahnya.

2.      Contoh-contoh dari tugas atau kewajiban yang mengikat Negara-negara adalah :
a.       Kewajiban untuk tidak melakukan tindakan pelakasanaan kedaulatan di wilayah Negara lain;
b.      Kewajiban untuk menghindarkan dan mencegah agen-agen dan warga Negara melakukan tindakan-tindakan yang merupakan suatu pelanggaran terhadap kemerdekaan atau supremasi territorial Negara lain;
c.       Kewajiban untuk tidak mencampuri urusan-urusan Negara lain.

D.    INTERVENSI (CAMPUR TANGAN) OLEH NEGARA YANG DIATUR DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan ini berarti suatu tindakan yang lebih sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari mediasi atau usulan diplomatik. Yang termasuk dalam larangan itu umumnya campur tangan yang bertentangan dengan kepentingan negara terkait dan seperti yang dikatakan oleh Hyde serta dijelaskan oleh International Court of Justice pada tahun 1986 dalam kasus Nicaragua vs United State of Amerika, campur tangan ini hampir selalu disertai bentuk atau implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik negara yang bersangkutan.
Menurut Mahkamah Internasional, suatu intervensi dilarang hukum internasional apabila.
1.      Merupakan campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah dimana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas (misalnya mengenai sistm politik atau ekonomi atau penganutan politik luar negerinya sendiri);
2.      Campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara paksa, khususnya kekerasan (misalnya memberikan dukungan secara tidak langsung terhadap aktivitas-aktivitas subbversif terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi tersebut).

Tiga macam intervensi material aktif yang tidak mengandung karakter demarche diplomatik:
1.      Intervensi “intern” (internal intervention)
Contohnya negara A yang mencampuri persengketaan pihak-pihak bertikai di negara B, dengan cara mendukung salah satu pihak, baik pemerintah yang sah ataupun pihak pemberontak.
2.      Intervensi "Ekstem" (External Intervention)
Contohnya negara A yang turut campur tangan dalam hubungan, umumnya hubungan permusuhan, seperti Ialia melibatkan diri dalam Perang Dunia II dengan memihak Jerman dan melawan Inggris.
3.      Intervensi "Penghukuman" (Punitive Intervention)
Bentuk intervensi ini merupakan suatu tindakan balasan (reprisal), yang bukan perang, atas kerugian yang diderita oleh negara lain, misalnya suatu blokade damai yang dilakukan terhadap negara yang menimbulkan kerugian sebagai pembalasan atas tindakannya yang merupakan pelanggaran berat traktat.

Secara umum intervensi dilarang dalam Hukum Internasional. Berikut ini adalah yang umumnya dinyatakan sebagai kasus-kasus kekecualian pokok, dimana menurut hukum intemasional suatu negara berhak melakukan intervensi sah :
1.      Intervensi kolektif sesuai dengan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa;
2.      Intervensi untuk rnelindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan serta keselamatan jiwa warga-warga negara di luar.
Inilah yang menjadi dasar bagi pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan pengiriman tentara multinasional di Pulau Grenada Oktober 1983; Afghanistan 2003 dan juga Irak.
3.      Pertahanan diri, apabila intervensi diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan senjata yang nyata;
4.      Dalam urusan-urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya
5.      Apabila negara yang menjadi subjek intervensi dipersalahkan karena melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional menyangkut negara yang melakukan intervensi sendiri telah diintervensi secara melawan hukum.


Dalam melaksanakan hak-hak kekecualian intervensi negara-negara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok menurut Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga kecuali Charter sendiri memperbolehkan pelaksanaan hak itu, intervensi tidak boleh berkembang menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integrasi teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun.


























BAB III
HUBUNGAN ATAU KAITAN ANTARA NEGARA DENGAN WARGA NEGARA

A.    PENGERTIAN RAS, BANGSA, DAN WARGA NEGARA
Ras adalah sekumpulan manusaia yang tinggal di suatu wilayah tertentu yang memiliki ciri-ciri fisik yang sama. Bangsa dapat merupakan suatu kumpulan penduduk dari suatu negara yang bersatu (dipersatukan) dibawah suatu pemerintah yang merdeka. Dalam artian ini kata "bangsa" (nation) adalah sinonim dari kata negara (state).
Tetapi, suatu bangsa (nation) dapat juga merupakan "setiap kumpulan rakyat (people) yang mempunyai lembaga-lembaga dan adat istiadat yang sama, homogenitas (persamaan) sosial dan kepentingan bersama". Jadi menurut artian ini, beberapa bangsa dapat hidup dalam suatu negara, atau suatu bangsa dapat meluas melampaui batas-batas suatu negara (hidup atau tinggal di beberapa negara). Bangsa dalam arti yang tepat (strict) adalah suatu istilah sosio kultural dan dapat dipergunakan tanpa hubungan atau digabungkan dengan arti hukum atau arti politik.
Setiap negara anggota mempunya "warga negara" nya sendiri (yaitu bangsanya), tetapi sebagai tambahannya terdapat status "kaula" Inggris yang menunjukan keanggotaannya pada persemakmuran ini yang terdiri dari privilege-privilege tertentu. Memang beragam kaidah yang berbedabeda mengenai nasionalitas dijumpai dalam perundang-undangan negara, kurangnya keseragaman ini sebagian besar terlihat nyata dalam perbedaan berkenaan perolehan nasionalitas yang asli. Nasionalitas harus dibedakan dari yang berikut ini:
1.      Ras
2.      keanggotan atau kewarganegaraan dari negara bagian atau dari privinsi-provinsi suatu federasi
3.      hak untuk perlindungan diplomatic
4.      Hak-hak keraganegaraan, yang dapat dihapuskan dari orang yang menjadi warga negara.

B.     CARA-CARA MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN
Praktek negara-negara memperlihatkan bahwa kewarganegaraan dapat diperoleh dengan cara-cara pokok berikut ini:
1.      Melalui kelahiran baik menurut azas jus soli (tempat kelahiran) ataupun azas jus sanguinis (nasionalitas orang tua pada saat kelahiran) atau menurut keduanya.
2.      Melalui naturalisasi (pewarganegaraan), baik dengan cara perkawinan, seperti pada saat seorang isteri memperoleh kewarganegaraan suaminya, atau dengan legitimasi, ata melalui pemberian kewarganegaraan, atas dasar permohonan kepada pihak berwenang dari negara.
3.      Para penduduk dari wilayah yang ditaklukan atau yang diserahkan dapat memperoleh nasionalitas dari negara yang menaklukannya, atau negara yang diserahi wilayah tersebut.

C.    IUS SOLI, IUS SANGUINIS, APATRIDE, BIPATRIDE
Undang-undang dari masing-masing negara menentukan bahwa nasionalitas seseorang ditentukan berdasarkan :
1.      Tempat dimana orang tuanya berasal (garis keturunan penduduk asli) (Ius Sanguinis).
2.      Hubungan darah atau garis keturunan (Ius Sanguinis) dan oleh pernyataan tempat kelahiran (Ius Soli). Ius Sanguinis lebih utama disbanding Ius Soli.
3.      Hubungan darah atau garis keturunan (Ius Sanguinis) dan sebagian melalui tempat kelahiran (Ius Soli). Ius Sanguinis lebih utama disbanding Ius Soli.
4.      Tempat kelahiran (Ius Soli).

Kurangnya keseragaman dalam perundang-undangan Negara menyebabkan timbulnya beberapa persoalan yang mengganggu karena adanya nasionalitas ganda (bipatride) tuna kewarganegaraan (apatride) dan sengketa nasionalitas mengenai wanita-wanita kawin.


D.    HAPUS ATAU HILANGNYA KEWARGANEGARAAN
Menurut praktek Negara-negara, kewarganegaraan dapat hilang karena :
1.      Pelepasan atau penolakan
2.      Pencabutan
3.      Bertempat tinggal lama di luar negeri.

E.     HAK-HAK WARGA NEGARA
1.      Pemberian hak perlindungan  diplomatik di luar negeri. Setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri.
2.      Negara yang menjadi kebangsaan seseorang tertentu akan bertanggungjawab kepada negara lain  apabila negara itu melalaikan kewajibannya mencegah  tindakan-tindakan melanggar hukum   yang dilakukan oleh orang  yang bersangkutan atau negara tersebut tidak menghukumnya,  setelah tindakan melanggar hukum itu dilakukan.
3.      Secara umum, suatu negara tidak boleh menolak atau  menerima kembali warganegaranya  sendiri di wilayahnya.
4.      Nasionalitas berhubungan erat dengan kesetiaan, dan salah satu hak utama dari kesetiaan adalah kewajiban untuk dinas militer di negara terhadap mana  kesetiaaan itu di baktikan.
5.      Suatu negara mempunyai hak luas, kecuali adanya traktat khusus  yang mengikatnya  untuk melakukan hak itu, untuk menolak pengekstradisian  warganya kepada negara lain yang meminta penyerahannya.
6.      Status musuh dalam perang dapat ditentukan oleh nasionalitas orang tersebut.
7.      Suatu negara melaksanakan yurisdiksi pidana dan yurisdiksi lainnya berdasarkan nasionalitas.






BAB IV
TEORI-TEORI KEKUATAN HUKUM INTERNASIONAL DAN PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

1.      Teori Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
a.       Teori Hokum Alam (Natural Law)
Menurut para penganut ajaran hokum ini, hokum internasioanal itu mengikat karena yaitu tidak lain daripada hokum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.
  1. Teori yang mengatakan bahwa hokum internasional tidak lain daripada hokum tata Negara yang mengatur hubungan luar suatu Negara.
  2. Teori yang menyandarkan kekuatan mengikat hokum internasional pada kemauan bersama.
  3. Teori yang mendasarkan asa Pacta Sunt Servanda sebagi kaidah dasr hokum internasional.
  4. Teori yang berdasarkan kekuatan mengikat hokum internasional pada factor biologis, social, dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta-fakta kemasyarakatan.

2.      Pembuatan perjanjian internasioanal dibagi dalam 3 tahap, yaitu :
  1. Perundingan (Negotiation)
  2. Penandatanganan (Signature)
  3. Pengesahan (Ratificaton)









BAB V
NEGARA DALAM SISTEM INTERNASIONAL : HUBUNGAN BERTETANGGA BAIK DAN JENIS NEGARA

A.    ATURAN-ATURAN MENGENAI HUBUNGAN BERSAHABAT ANTARA NEGARA-NEGARA

Beberapa aturan mengenai hubungan bersahabat antara negara-negara terdiri dari:
1.      Prinsip yang mungkin sejalan dengan larangan dalam hukum nasional terhadap penyalahgunaan hak bahwa suatu negara tidak boleh mengizinkan wilayahnya digunakan untuk tujuan-tujuan yang membahayakan kepentingan-kepentingan negara lain. Misalnya kasus yunani pada tahun 1946-1949.
2.      Dalam Trail Smelter Arbitration Case 1941 diakui bahwa prinsip-prinsip suatu negara memikul kewajiban untuk melakukan pencegahan wilayahnya dijadikan sumber kerugian ekonomi
3.      Dalam  declaration on human environment tentang lingkungan hidup manusia bulan bumi 1972 dinyatakan bahwa negara-negara bertanggung jawab menjamin aktivitas-aktivitas dalam yurisdiksi atau pengawasan mereka tidak menimbulakan kerusakan lingkungan negara lain.
4.      Dalam corvu channal case (merites) 1949. Internasional court of justice menyatakan bahwa telah menjadi susatu prinsip yang diakui oleh umum bahwa setiap negara memikul kewajiban untuk tidak membiarkan wilayahnya digunakan untu tindakan yang bertentangan dengan negara lain.
5.      Dalam pasal 74 charter perserikatan bangsa-bangsa, prinsip umum dibidang sosial, ekonomi dan perdagangan ditetapkan sebagai hal yang harus diataati negara anggota berkaitan dengan wilayah bagiannya.
6.      Dalam resolusi majelis umum PBB tanggal 3 november 1947 prinsip tentang kewajiban menjalin persahabatan atara negara-negara yang ,mengutuk propaganda.

Lima prinsip tentang hidup berdampingan secara damai disepakati oleh india dan RRC didalam mukoddimah traktat mengenai tibet yang ditandatangani di beijing tanggal 29 april 1954:
  1. Saling menghormati interritas dan kedaulatan tewritorial masing-masing
  2. Saling tidak melakukan agresi (mutual non-agresional)
  3. Saling tidak mencampuri urusan-urusan dalm negeri masing-masing
  4. Persamaan kedudukan dan saling menguntungkan
  5. Hidup berdampingan secara damai.

B.     JENIS-JENIS NEGARA DAN KESATUAN BUKAN NEGARA
  1. Negara kesatuan
  2. Negara federasi
  3. Negara konfederasi
  4. Protektorat
  5. Negara vassal
  6. Wilayah koloni
  7. Condominum
  8. Wilayah perwalian(trust)
  9. Uni
  10. Mandat
  11. Dominion
  12. Negara-negara netral

C.    HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI RAKYAT DAN KESATUAN-KESATUAN YANG BELUM MERDEKA

Hak menetukan nasib sendiri bagi rakyat dan kesatuan-kesatuan yang belum merdeka diakui secara tegas oleh majelis umum PBB dalam resolusi tentang penetuan nasib sendiri tanggal 12 desember 1958, dan dalam deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada negeri-negeri dan rakyat-rakyat jajahan pada tanggak 14 desember 1960. Hak tersebut telah diuraikan secara rinci dibawah judul “prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat”.
BAB VI
NEGARA DAN INDIVIDU

1.      Teori Masuknya Warga Negara Asing
Teori-teori yang menyangkut masalah kewarganegaraan lahir dari kondisi kontak sosial manusia yang berlangsung lam kemudia diikuti dengan bentuk-bentuk kontak lainnya sehingga dunia internasional perlu untuk secara bersama-sama menetapkan aturan hukum tertulis.

2.      Hak dan Kewajiban Warga Negara Terhadap Warga Negara Asing
  1. Suatu negara berkewajiban memberi izin kepada semua orang asing
  2. Suatu negara berkewajiban memberikan izin kepada orang asing, dengan syarat negara tersebut berhak menolak golongan tertentu.
  3. Suatu negara teriakt untuk mengizinkan orang asing untuk masuk tetapi dapat mengenakan syarat-syarat yang berkenaan dengan izin untuk masuk mereka
  4. Suatu negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing menurut kehendaknya.

3.      kedudukan hukum warga negara asing
  1. perlakuan fiskal, berkenaan dengan perpajakan
  2. hak untuk menjalankan profesi, industri atau mata pencaharian
  3. perlakuan dalam beberapa hal seperti tempat tinggal pemilikan harta benda serta imunitas sipil.
  4. syarat perizinan masuk dan keimigrasian.

4.      Ekstradisi dan Asyilum
  1. Ekstradisi
Merupakan suatu proses diaman berdasarkan traktat atau reprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang dituduh atau dihukum karena melanggar hukum negara yang mengajukan permintaan.
  1. Asylum yaitu pemberian suaka.




























BAB VII
PENGAKUAN INTERNASIONAL

Pengakuan Internasional Pendahuluan Pranata hokum yang berupa Pengakuan terhadap suatu bangsa, umumnya masih sangat muda. Kemunculannya baru sekitar sesudah perang dunia I terutama dengan timbulnya pergolakan di Polandia. Munculnya teori Pengakuan juga memberikan dorongan kepada bangsa-bangsa terjajah untuk memperjuangkan haknya. Eksistensi suatu Negara juga berkenaan dengan kemampuannya menyelenggarakan hubungan internasional, meskipun kepastian batas wilayah belum ditentukan.
1.      Teori mengenai hakikat dan fungsi dari “Pengakuan” Menurut J.G.Starke dalam bukunya terdapat dua teori, yaitu :
  1. Teori konstitutif : hanya tindakan pengakuanlah yang menciptakan status kenegaraan atau melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya dilingkungan Internasional
  2. Teori deklaratif : status kenegaraan tidak tergantung pada pengakuan semata, pengakuan hanya pengumuman resmi semata terhadap fakta yang ada. Adanya pertentangan mengenai teori konstitutif dan deklaratif sehingga menimbulkan bantahan-bantahan terhadap kedua teori tersebut.

2.      Cara-cara atau praktek Negara dalam member “Pengakuan”
Hokum internasional tidaka mengatur bagaimana cara member pengakuan. Oleh karena itu setiap Negara bebas menurut caranya sendiri dalam member pengakuan. Pada dasarnya cara memberi pengakuan dapat dibedakan dengan empat cara :
  1. Pemberian pengakuan yang dilakuakan secara tegas;
Ini dapat dilihat dengan adanya nota diplomatic atau pembukaan kedutaan besar di suatu Negara.
  1. Pemberian pengakuan secara diam-diam atau tersirat;
ini didasarkan tindakan pihak yang bersangkutan sehingga adanya kesimpilan terdapat niat untuk memberi pengakuan.
Tindakan yang dikatakan pengakuan tersirat :
1)      Menerima kunjungan kepala Negara
2)      Mengibarkan bendera yang bersangkutan
3)      Menyampaikan pernyataan selamat, dan lain-lain
  1. Pemberiaan pengakuan secara bersyarat, dimana adanya kewajiban yang harus dipenuhi Negara itu.
Contoh konkrit dari pengakuan bersyarat yaitu :
1)      Ketika AS mengakui kemerdekaan Bolivia pada tahun 1917 ketika AS mensyaratkan bahwa Bolivia berjanji tidak akan mensionalisasikan PMA AS di Bolivia.
2)      Kongres Berlin 1928 yang member pengakuan terhadap Serbia dan Montenegro demham syarat pemerintah Serbia maupun Montenegro tidak memberlakukan larangan agama atau tidak boleh memaksakan penyimpangan agama terhadap warga negaranya
  1. Dampak atau konsekuensi adanya pengakuan internasional Pengakuan akan menimbulkan hak-hak dan kewajiban, kekuasaan-kekuasaan, privilege dari Negara yang diakui menurut hokum internasional maupun menurut hokum nasional Negara yang member pengakuan.
  2. Kesimpulan Pengakuan harus dilihat berdasarkan sudut pandang Negara yang member pengakuan. Dalam prakteknya pengakuan lebih merupakan maslah politik dan maslah hokum. Pertimbangan politis lebih dominan dalam member pengakuan seperti, perdagangan dan strategi. Tindakan Negara memberi atau menolak member pengakuan belum dapat dikontrol oleh kaidah hokum yang tegas. Pengakuan bukan pranata hokum yang objektif karena lebih bersifat subjektif. Begitu pula dalam cara-cara member pengakuan, dimana tidak ada aturan bagaimana cara member pengakuan terhadap suatu Negara. Sehingga adanya usulan agar pengakuan dihilangkan sehingga akan mempermudah hubungan atar Negara (Richard Baxter, 1979-1980).


BAB VIII
KEDAULATAN TERITORIAL NEGARA DAN HAK-HAK TERITORIAL LAIN YANG LEBIH KECIL

A.    KEDAULATAN TERITORIAL DAN HAK-HAK LAIN YANG LEBIH KECIL
“Kedaulatan dalam hubungan antara Negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkenaan dengan suatu bagian dari muka bumi ini adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya, tanpa campur tangan Negara lain, fungsi-fungsi suatu Negara”
1.      Memperoleh Kekuasaan Territorial
Ada tujuh cara yang diakui secara umum dan secara tradisional untuk mendapatkan kedaulatan territorial ialah :
  1. Pendudukan (okupasi) Ialah penegakan kedaulatan atas wilayah yang bukan dibawah wewenang negara lain.
  2. Penaklukan (aneksasi) Adalah suatu metode memperoleh kedaulatan territorial yang digunakan dalam dua perangkat
  3. Akresi (perubahan karena factor alam) Akresi terjadi bila suatu Negara bertambah wilayahnya karena factor-faktor perubahan alam, yang mungkin oleh pelebaran aliran sungai atau factor perubahan alam lain.
  4. Preskripsi (pengalihan hak atau kadaluarsa) Adalah pelaksanaan de fakto secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk pada kedaulatan Negara yang satu lagi.
  5. Sesi (penyerahan) Merupakan suatu metode yang penting untuk memperoleh kedaulatan territorial.
  6. Integrasi / disintegrasi Integrasi merupakan penggabungan sebuah kawasan atau wilayah kedalam suatu Negara yang mana biasanya Negara yang akan diajak bergabung atau berintegrasi tersebut.
  7. Revolusi (Independen) Sebuah Negara independen ialah merupakan sebuah Negara yang berdiri sendiri tanpa ada bantuan dari Negara lain maupun campur tangan dari pihak lain.
Dua cara berikutnya adalah :
  1. Proses dekolonisasi
  2. Keputusan konverensi internasional.

2.      Perolehan Kedaulatan Teritorial oleh Negara-Negara Yang Baru Muncul
Pandangan mengenai perolehan wilayah oleh Negara-negara yang baru muncul itu sesuai dengan prinsip yang dinyatakan dalam deklarasi tentang prinsip-prinsip hokum internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar Negara-negara menurut PBB.

3.      Kehilangan Kedaulatan Territorial
Metode-metode kehilangan kedaulatan territorial persis sama dengan cara memperolehnya. Jadi kedaulatan territorial dapat hilang dengan dereliksi (sesuai dengan pendudukan di pihak yang memperoleh dan yang menuntut suatu maksud sebaliknya dipihak Negara yang meninggalkan untuk melepasakan penguasaan efektifnya), dengan penaklukan operasi alam dan dengan preskripsi.

4.      Kedaulatan atas Wilayah Udara
Sebelum perang dunia I (1914-1918), satu-satunya hal yang mendapat persetujuan universal adalah bahwa wilayah udara di atas laut bebas dan wilayah tidak bertuan tentu saja babas dan terbuka.

5.      Lapisan atas Atmosfer, Angkasa Luar dan Kosmos
Masalh baru dalam hokum internasional telah diciptakan oleh semakin intensifnya kegiatan Negara-negara di lapisan atmosfer, di angkasa luar dan kosmos, dan juga oleh kemajuan-kemajuan spektakuler dalam teknologi luar angkasa.

B.     BATAS-BATAS DAN SUNGAI
1.      Batas-batas
Batas-batas merupakan salah satu manifestasi terpenting dari kedaulatan territorial Negara. Sejauh batas-batas itu diakui secara eksplisit oleh traktat, atau secara umum diakui tanpa deklarasi eksplisit maka batas-batas itu merupakan bagian dari hak suatu Negara terhadap wilayah.

2.      Sungai
Bila sebuah sungai seluruhnya berada dalam wilayah suatu Negara, maka sungai itu seluruhnya milik Negara itu dan pada umumnya Negara lain tidak mempunyai navigasi disitu. Juga bila sebuah sungai melintasi wilayah beberapa Negara, setiap Negara memiliki bagian sungai yang mengalir melintasi wilayahnya.

3.      Hak Menikmati dan Fasilitas Teritorial
Menurut praktek sekarang hak menikmati internasional dapat didefinisikan sebagai suatu pembatasan kekecualian yang dibebankan oleh traktat atas kedaulatan wilayah suatu Negara dengan man wilayah Negara itu berada dibawah syarat-syarat atau pembatasan yang melayani kepentingan Negara lain atau kesatuan beukan Negara. Sebuah contoh yang terkenal ialah, syarat bahwa kota perbatasan huningen di al sace tidak boleh dibentengi demi kepentingan canton basle (swiss).













BAB IX
HAL TANGGUNG JAWAB ATAS PERBUATAN NEGARA

A.    BATASAN-BATASAN HAK DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HAL TERJADINYA PERGANTIAN PEMERINTAH ATAU PERGESERAN KEKUASAAN.

Batasan-batasan antara hukum internasional dan hukum nasional dalam dua hal, yaitu :
1.      Penyelenggaraan kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa kaidah tindakan oleh suatu negara yang dianggap menimbvulkan tanggung jawab. 
2.      Kewenangan atau kompetensi badan negara yang melakukan kesalahan.
Dari kedua prinsip diatas, bahwa suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai dasar alasan untuk menghindari suatu kewajiban internasional.

Pembelaan Diri dan Dasar-Dasar Pembenaran
Masalah pembelaan diri dan dasr-dasar pembenaran (defense and justification) berkaitan dengan satu klaim terhadap tanggung jawab negara, maka suatu produk permasalahan yang pada umumnya diuraikan dalam beberapa traktat hukum internasional. Pada tahun 1979 Hukum Internasional mengeluarkan rangcangan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pembelaan diri dan pada tahun 1980 Komisi Hukum Internasional mengeluarkan dua pasal penting mengenai dasar-dasar pembenaran, masing masing keterpaksaan (necessity) dan pembelaan diri (self defence).

B.     DOKTRIN-DOKTRIN MENGENAI CLAIM ATAU TUNTUTAN DAN CARA PEMBAYARAN HUTANG (DOKTRIN DRAGO DAN CALVO)

1.      Klausula Calvo
Untuk membahas klausula-klausula dalam bentuknya yang dikenal “Klausula Calvo” sering dimasukkan dalam kontrak-kontrak antara pemerintah tengah dan selatan. Menurut Klausula tersebut, konsesioner asing melepaskan perlindungan atau bantuan dari pemerintah negara asalnya dalam setiap persoalan yang muncul dari konrak.
Klausula tersebut dapat disimpulkan : 
  1. Sejauh klausula tersebut berusaha untuk menghapus secara umum hak berdaulat suatu negara untuk melindungi warganegaranya maka klausula tersebut dianggap batal.
  2. Tetapi, mengitip pernyataan pemerintah inggris, “tidak ada peraturann untuk mencegah pencantuman suatu syarat dalam kontrak dalam segala masalah yang menyangkut kontrak yuridis dari pengadilan-pengadilan lokal adalah lengkap dan eksekutif. 
  3. Apabila syarat itu bertujuan untuk mengikat pemerintah, pihak yang mengajukan klaim untuk tidak campur tangan dalam kaitan penyelenggaraan nyata hukum internasional,maka klausula tersebut batal.
Jadi Klausula Calvo tidak berlaku untuk menghalangi hak-hak negara untuk melindungi warganegara untuk melindungi orang-orang asing di negara mereka.

2.      Hutang-Hutang
Klaim-klaim yang isinya menuntut tanggung jawab negara terhadap hutang-hutang sering timbul dalam kasus-kasus suksesi negara dimana suatu negara yang menganeksasi atau negara suksesor mengelakan kewajuban-kewajiban finansial dari negara yang digantikan. Namun klaim-klaim itu juga muncul dalam beberapa kasusu dimana pemerintah-pemerintah gagal dalam pelayanan pinjaman atau lalai memenuhi kontribusi-kontribusinya kepada lembaga-lembaga Internasional dimana mereka menjadi anggota.

3.      Klaim-Klaim
Suatu negara mempunyai hak untuk melindungi warganegaranya yang berada di luar negeri, Maka negara berhak ikut campur tangan secara diplomatik atau mengajukan klaim untuk penyelesian yang memuaskan dihadapan suatu pengadilan arbitrase internasional apabila salah satu dari rakyatnya telah mendapat kerugian tidak sah yang untuk mana negara lain yang bertanggung jawab.

4.      Kerugian-kerugian

Menurut hukum internasional, dalam persoalan tanggung jawab negara, suatu negara penuntut berhak atas ganti rugi apabila tuntutannya telah dibenarkan, terlepas dari apakah tidakan melawan hukum yang menjadi pokok tuntutan itu menyebabkan kerugian material, atau kerugian keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar