RESUME
Drs. T. May
Rudy, SH., MIR., M.Sc.
Dosen : Drs. H.Munawar Rois., M.Pd
Di
Susun Oleh :
|
|
|
Agus
Syahryal
NPM
: 01020201090161
|
|
|
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
Kampus
: Jl. Pasir Gede Raya Telp. (0263) 270106 – 268672 Cianjur 43216
BAB
I
SUBJEK
DAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
A.
DEFINISI
HUKUM INTERNASIONAL
1.
Prof
Dr. Mochtar Kusumaatmadja
Keseluruhan
kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas-batas negara antara
a. Negara
dengan Negara
b. Negara
dengan subjek hokum lain bukan Negara atau subjek hokum bukan Negara, satu sama
lain.
2.
J.G.
Starke
Hukum
internasional sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri dari
asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara.
Oleh karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antarnegara satu sama lainnya.
B.
HUKUM
INTERNASIONAL DAN HUKUM DUNIA
Hukum internasional didasarkan pada
pemikiran :
a.
Masyarakat Internasional yang terdiri
dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (independen) dalam arti
masing-masing berdiri sendiri tidak dibawah kekuasaan yang lain (Multi State
System)
b.
Tidak ada suatu badan yang berdiri
daitas suatu negara, baik dalam bentuk negara (world State) maupun badan
supranasional yang lain.
c.
Merupakan suatu tertib hukum koordinasi
koordinasi antara anggota masyarakat internasional sederajat. Masyarakat
internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang
mengikat secara koordinatif untuk memelihara dan mengatur berbagai kepentingan
bersama.
Hukum dunia
berpangkal kepada pemikiran yang lain :
a.
Banyak dianalogikan dengan hukum
tatanegara, hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi
semua negara di dunia ini.
b.
Negara dunia secara herarki berdiri
diatas negara-negara nasional.
c.
Hukum dunia merupakan suatu tertib hukum
sub-ordinasi.
Kita memilih konsep hukum internasional
karena tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang
terdiri dari anggota yang sederajat lebih sesuai dengan kenyataan dewasa ini.
C.
SUBJEK
HUKUM INTERNASIONAL
Subjek hukum
internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum
internasional. Subjek hukum internasional tersebut adalah:
1. Negara
Negara adalah subjek hukum
internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya
hukum internasional. Bahkan hingga sekarangpun masih ada anggapan bahwa hukum
internasional itu merupakan hukum antar negara.
2. Tahta
Suci Vatikan
Tahta suci Vatikan merupakan salah
satu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dulu di samping negara.
Hal ini merupakan peninggalan (atau kelanjutan) sejarah jaman dahulu ketika
Paus bukan hanya merupakan kepala geraja Roma tetapi memiliki juga kekuasaan
duniawi. Tahta suci merupakan salah satu subjek hukum internasional yang sejajar
kedudukannya dengan negara. Sebagai salah satu contoh lainnya dapat disebut
suatu entitas yang bernama 'Order of the Knights of Malta" Entitas ini
hanya diakui oleh beberapa negara sebagai subjek hukum internasional.
3. Palang
Merah Internasional
Organisasi ini sebagai salah satu
subjek hukum internasional (Yang terbatas) lahir karena sejarah namun
kedudukannya diperkua dalam perjanjian. Sekarang palang merah Internasional
secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai
subjek hukum internasional tersendiri walaupun dengan ruang lingkup yang sangat
terbatas.
4. Oraganisasi
Internasional
Organisasi Internasonal seperti
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO)
mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi
internasional yang merupakan anggaran dasarnya.
5. Individu
Individu sudah lama menjadi sumber
hukum internasional, yang antara lain terdapat dalam:
a.
Perjanjian Versailles tahun 1919 yang
mengakhiri perang dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, yang
didalamnya terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu mengajukan perkara
ke Mahkamah Arbitrase Internasional.
b.
Perjanjian antara Jerman dan Polandia
tahun 1922 mengenai Upper Silesia.
c.
Keputusan mahkamah internasional
permanen dalam perkara yang menyangkut pegawai kerata api Danzig.
d.
Keputusan organisasi regional dan
transnasional seperti PBB, ILO, Masyarakat Eropa, dan lain-lain.
Berdasarkan
peradilan Nurenberg dan Tokyo (1946), individu dapat dianggap langsung bertanggungjawab
sebagai individu bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia
tidak dapat berlindung lagi dibelakang negaranya. Azas hukum ini kemudian
kemudian dituabgkan dalam "UN Draft Code Of Offences Against Tha Peace and
Security of Mindkind" yang disusun oleh International Law Commission.
Perkembangan untuk meletakan tanggung jawab langsung atas pelanggaran hukum
internasional sikukuhkan dalam Genocide Convention (Konvensi tentang pembunuhan
masal manusia) yang telah diterima oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 9 Desember
1948. Menurut ketentuan dalam Konvensi ini, individu-individu yang telah
terbukti melakukan GEnocide harus dihukum, terlepas dia melakuakn hal tersebut
sebagai individu, pejabat pemerintah, pemimpin pemerintah, atau negara.
6. Pemberontak
dan pihak dalam sengketa (Belligerent) menuru hukum perang, pemberontak dapat
memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dengan syarat dan
keadaan tertentu.
D.
SUMBER
HUKUM INTERNASIONAL
Dalam hukum
internasional ada dua tempat yang menunjuk atau mencantumkan secara tertulis
sumber hukum dalam arti formal yaitu pasal 7 Konvensi Den Haag XII tanggal 18
Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah internasional Perampasan Kapal di Laut
(International Prize Court) dan dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional
Permanen tanggal 26 Juni 1945.
Bagi hukum
internasional Positif hanya Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sajalah yang
penting. Pasal 38 Ayat (1) mengatakan bahwa, dalam mengadili perkara yang
diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan :
1. Perjanjian
Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan
hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa. Perjanjian
internasional adalah perajanjian yang diadakan antara oleh anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.Jadi
termasuk di dalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antar organisasi
internasional dengan organisasi lainnya. Juga yang dapat dianggap sebagai perjanjian
internasional, perjanjian yang diadakan oleh Tahta Suci Vatikan dengan
negara-negara. Sebaliknya tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional
dalam arti diutarakan di atas perjanjian tidak adil (unequal treaties) yang
pernah diadakan dimasa lampau, contohnya serikat-serikat dagang yang besar,
seperti east india company dan verenigde oost Companie dengan kepala-kepala
negara bumi putera.
2. Kebiasaan-Kebiasaan
Internasional, (Intenational Custom, as evidence of a general practice accpeted
as law)
Untuk dapat dikataka kebiasaan
internasional itu merupakan sumber hukum internasional, harus dipenuhi unsur
sebagi berikut:
a.
Harus terdapat suatu kebiasaan
internasional yang bersifat umum, dan diterapkan berulang dari masa ke masa.
b.
Kebiasaan itu harus diterima sebagai
hukum.
Contoh
dari kebiasaan internasional : memberi perlindungan kepada utusan yang dikirim
untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh, perlakuan tawanan perang menurut
perikemanusiaan, penggunaan karpet warna merah bila menerima kunjungan kepala
negara asing.
3. Pinsip-Prinsip
Umum Hukum (General principles of law recognized by civilized nations)
Yang dimaksud dengan asas umum
hukum adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern (Hukum modern :
sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat
yang untuk sebagian besar atas asas dan lembaga hukum romawi. Adanya asas hukum
ini sangat penting bagi perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum
positif. Dengan adanya sumber hukum ini, mahkamah tidak bisa menyatakan 'not
liquet' yakni menolak mengadili perkara karena tidak ada hukum yang mengatur
persoalan yang diajukan. Kedudukan mahkamah internasional diperkuat dengan
adanya sumber hukum ini.
4. Sumber
Hukum Tambahan: Yurisprudensi dan doktrin para sarjana terkemuka di dunia.
Sumber hukum tambahan ini maksudnya
adalah, Yurisprudensi dan Doktrin dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya
kaidah hukum internasional mengedai adanya persoalan yang didasarkan atas
sumber primer. Yurisprudensi dan doktrin ini tidak mengikat, artinya tidak dapat
menimbulkan kaidah hukum.
5. Keputusan
badan perlengkapan (organs) organisasi dari lembaga internasional.
Pertumbuhan lembaga dan organisasi
internasional dalam 50 tahun terakhir telah mengakibatkan timbulnya berbagai
keputusan, baik dari badan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari lembaga
internasional itu yang tidak dapat diabaikan dalam suatu pembahasan tentang
sumber hukum internasional, walaupun mungkin keputusan demikian belum dapat
dikatakan merupakan sumber hukum internasional dalam arti yang sesungguhnya.
BAB
II
A.
Hakekat
Negara Menurut Hukum Internasional
Negara merupakan subjek utama utama dari hukum
internasional, baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara
historis yang pertama-tama merupakan subjek hukum internasional pada awal mula
lahir dan pertumbuhan hukum internasional adalah negara. Peranan negara
lama-kelamaan juga semakin dominan oleh karena bagian terbesardari hubungan
hubungan internasional yang dapat melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
hukum internasional dilakukan oleh negara-negara. Bahkan hukum internasional
itu sendiri boleh dikatakan bagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara
negara dengan negara.
Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional
dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya adalah, negara memiliki
apa yang disebut "kedaulatan" atau sovereignity. Kedaulatan
yang artinya “kekuasaan tertinggi", pada awalnya diartikan sebagai suatu
kedaulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta
tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Akan tetapi kini arti dan
makna dari kedaulatan itu telah mengalami perubahan. Kedaulatan tidak lagi
dipandang sebagai seatu yang bulat dan utuh melainkan dalam batas-batas
tertentu sudah tuntuk pada pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan itu
sendiri tidak lain adalah hukum internasional dan kedaulatan dari sesama negara
lainnya. Suatu negara yang berdaulat, tetap tunduk pada hukum internasional
serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lainnya.
Manifestasi dari kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi
mengandung dua sisi yaitu sisi intern dan sisi ekstern. Sisi intern berupa
kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara itu sendiri. Sedangkan sisi
ekstem, brupa kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan
negara lain atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Wujud nyata
dari sisi intern kedaulatan tersebut dapat kita lihat pada bentuk negara maupun
bentuk pemerintahannya, di mana antara negara yang satu dengan negara yang lain
bisa saja berbeda-beda, ada negara yang berbentuk kesatuan, federasi atau
bentuk lainnya.
Namun hal pokok yang perlu mendapat penegasan di sini adalah
pengertian negara itu sendiri. Tegasnya apakah yang dimaksud dengan negara itu?
Pertanyaan ini memaksa kita untuk memberi definisi tentang apa yang disebut
negara. Berdasarkan definisi itulah bisa ditarik atau dikemukakan kualifikasi
atau unsur-unsur yang harus dipenuhi agar sesuatu itu dapat disebut atau
digolongkan sebagai negara.
Sebenamya cukup sukar untuk memberikan suatu rumusan atau
definisi yang tegas tentang negara ini, sebab negara memiliki banyak dimensi
dan dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu
politik, ilmu ekonomi, ilmu sosial dan lain-lainnya. Sehingga pengertian negara
itu bisa saja berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu sebaiknya
masalahnya dipersempit dengan membatasi menurut ilmu hukum, khususnya hukum
internasional. Apakah yang dimaksud dengan negara menurut hukum internasional?
Sepanjang pengamatan, para sarjana hukum internasional
tampaknya menghindarkan diri dari usaha mendefinisikan negara tersebut.
Kebanyakan di antara para ahli hukum internasional hanya menggunakan
unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu kelompok masyarakat dapat disebut
sebagai negara. Demikian pula konvensi-konvensi internasional boleh dikatakan
tidak ada satupun yang merumuskan di dalam salah satu pasalnya tentang apa yang
disebut negara, sudah demikian umum dikenal sehingga dirasakan tidak perlu
didefinisikan lagi.
Tetapi ada sebuah konvensi internasional yang secara tegas
merumuskan kualifikasi tentang suatu negara, yakni Konvensi Montevideo 1933
tentang Hak-Hak dan Kewajiban Negara.
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-hak dan
Kewajiban Negara (yang ditandatangani Amerika Serikat dan beberapa negara
Amerika Latin) mengemukakan karakteristik sebagai berikut :
The state as a person of international law should prosses
the following qualification:
- A permanent population;
- a defined teritory;
- government;
- capacity to enter into relation
with the other states.
Dari segi hukum internasional, syarat (capacity to enter
into relation with the other states) merupakan syarat yang paling penting.
Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan
ekstern dengan negara-negara lain. Hal inilah yang membedakan negara dalam arti
sesungguhnya dari unit-unit yang lebih kecil seperti anggota suatu federasi,
atau protektorat, yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar negerinya sendiri
dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional
yang sepenuhnya mandiri.
Konsepsi Kelsen mengenai negara, menekankan bahwa negara
merupakan suatu gagasan teknis yang semata-mata menyatakan fakta bahwa
serangkaian kaidah hukum tertentu mengikat sekelompok individu yang hidup di
dalam suatu wilayah teritorial terbatas, dengan perkataan lain, negara dan
hukum merupakan suatu istilah yang sinonim.
B.
Hak-hak
Dan Kewajiban-Kewajiban Dasar Negara-Negara
Berdasarkan American Institute of International Law pada
tahun 1916, Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-Hak dan Kewajiban-kewajiban
Negara, dan dalam Draft Declaration on the Right and Duties of State yang
disusun oleh Komisi Hukum lnternasional PBB tahun 1949 :
1. Hak-hak dasar yang paling sering
ditekankan, yaitu:
- Hak kemerdekaan;
- Hak persamaan negara-negara
atau persamaan derajat;
- Hak yurisdiksi teritorial;
- Hak membela diri atau hak
mempertahankan diri
2.
Kewajiban-kewajiban
dasar yang ditekankan, yaitu
- Kewajiban untuk tidak mengambil
jalan kekerasan atau perang
- Kewajiban untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban traktat dengan itikad baik.
- Tidak mencampuri urusan negara
lain.
C.
KEDAULATAN NEGARA SERTA KEWAJIBAN KORELATIF YANG MEMBATASI
KEDAULATAN NEGARA
Suatu Negara dianggap memiliki kemerdekaan dan kedaulatan
terhadap warga-warga negaranya dan urusan-urusannya serta dalam batas-batas
wilayah tetorialnya.
Apabila kita mengatakan bahwa suatu Negara tertentu merdeka,
maka dengan cara kongkret kita dapat memberikan sejumlah atribut seperti hak,
kekuasaan, dan hak-hak istimewa menurut hokum internasional kepada Negara tersebut.
Hak-hak dan lain-lainnya ini, serta kewajiban-kewajiban yang berkaitan
merupakan substansi pokok dari kemerdekaan Negara.
1. Contoh-contoh hak dan lain-lain itu,
yang berkaitan dengan kemerdekaan Negara-negara adalah :
a.
Kekuasaan
eksekutif untuk melakukan control terhadap urusan-urusan dalam negerinya;
b.
Kekuasaan
untuk memberikan izin masuk dan mengusir orang-orang asing;
c.
Hak-hak
istimewa duta-duta diplomatiknya di Negara-negara lain;
d.
Yurisdiksi
tunggal terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayahnya.
2. Contoh-contoh dari tugas atau
kewajiban yang mengikat Negara-negara adalah :
a.
Kewajiban
untuk tidak melakukan tindakan pelakasanaan kedaulatan di wilayah Negara lain;
b.
Kewajiban
untuk menghindarkan dan mencegah agen-agen dan warga Negara melakukan tindakan-tindakan
yang merupakan suatu pelanggaran terhadap kemerdekaan atau supremasi
territorial Negara lain;
c.
Kewajiban
untuk tidak mencampuri urusan-urusan Negara lain.
D.
INTERVENSI
(CAMPUR TANGAN) OLEH NEGARA YANG DIATUR DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Hukum internasional pada umumnya melarang campur
tangan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan ini berarti suatu tindakan
yang lebih sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari mediasi atau usulan
diplomatik. Yang termasuk dalam larangan itu umumnya campur tangan yang
bertentangan dengan kepentingan negara terkait dan seperti yang dikatakan oleh
Hyde serta dijelaskan oleh International Court of Justice pada tahun 1986 dalam
kasus Nicaragua vs United State of Amerika, campur tangan ini hampir selalu
disertai bentuk atau implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik
negara yang bersangkutan.
Menurut Mahkamah Internasional, suatu intervensi
dilarang hukum internasional apabila.
1.
Merupakan campur tangan yang berkaitan
dengan masalah-masalah dimana setiap negara dibolehkan untuk mengambil
keputusan secara bebas (misalnya mengenai sistm politik atau ekonomi atau
penganutan politik luar negerinya sendiri);
2.
Campur tangan itu meliputi gangguan
terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara paksa, khususnya kekerasan
(misalnya memberikan dukungan secara tidak langsung terhadap
aktivitas-aktivitas subbversif terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi
tersebut).
Tiga macam intervensi material aktif yang tidak
mengandung karakter demarche diplomatik:
1.
Intervensi “intern” (internal
intervention)
Contohnya negara A yang
mencampuri persengketaan pihak-pihak bertikai di negara B, dengan cara
mendukung salah satu pihak, baik pemerintah yang sah ataupun pihak pemberontak.
2.
Intervensi "Ekstem" (External
Intervention)
Contohnya negara A yang
turut campur tangan dalam hubungan, umumnya hubungan permusuhan, seperti Ialia
melibatkan diri dalam Perang Dunia II dengan memihak Jerman dan melawan
Inggris.
3.
Intervensi "Penghukuman" (Punitive
Intervention)
Bentuk intervensi ini
merupakan suatu tindakan balasan (reprisal), yang bukan perang, atas kerugian
yang diderita oleh negara lain, misalnya suatu blokade damai yang dilakukan
terhadap negara yang menimbulkan kerugian sebagai pembalasan atas tindakannya
yang merupakan pelanggaran berat traktat.
Secara umum intervensi dilarang dalam Hukum
Internasional. Berikut ini adalah yang umumnya dinyatakan sebagai kasus-kasus
kekecualian pokok, dimana menurut hukum intemasional suatu negara berhak
melakukan intervensi sah :
1.
Intervensi kolektif sesuai dengan
Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa;
2.
Intervensi untuk rnelindungi hak-hak dan
kepentingan-kepentingan serta keselamatan jiwa warga-warga negara di luar.
Inilah yang menjadi
dasar bagi pemerintah Amerika Serikat membenarkan tindakan pengiriman tentara
multinasional di Pulau Grenada Oktober 1983; Afghanistan 2003 dan juga Irak.
3.
Pertahanan diri, apabila intervensi
diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan senjata yang nyata;
4.
Dalam urusan-urusan protektorat yang
berada di bawah kekuasaannya
5.
Apabila negara yang menjadi subjek
intervensi dipersalahkan karena melakukan pelanggaran berat atas hukum
internasional menyangkut negara yang melakukan intervensi sendiri telah
diintervensi secara melawan hukum.
Dalam melaksanakan hak-hak kekecualian intervensi
negara-negara harus tunduk kepada kewajiban-kewajiban pokok menurut Charter
Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga kecuali Charter sendiri memperbolehkan
pelaksanaan hak itu, intervensi tidak boleh berkembang menjadi ancaman atau
penggunaan kekerasan terhadap integrasi teritorial atau kemerdekaan politik
negara manapun.
BAB
III
HUBUNGAN ATAU
KAITAN ANTARA NEGARA DENGAN WARGA NEGARA
A.
PENGERTIAN
RAS, BANGSA, DAN WARGA NEGARA
Ras adalah sekumpulan
manusaia yang tinggal di suatu wilayah tertentu yang memiliki ciri-ciri fisik
yang sama. Bangsa dapat merupakan suatu kumpulan penduduk dari suatu negara
yang bersatu (dipersatukan) dibawah suatu pemerintah yang merdeka. Dalam artian
ini kata "bangsa" (nation) adalah sinonim dari kata negara (state).
Tetapi, suatu bangsa
(nation) dapat juga merupakan "setiap kumpulan rakyat (people) yang
mempunyai lembaga-lembaga dan adat istiadat yang sama, homogenitas (persamaan)
sosial dan kepentingan bersama". Jadi menurut artian ini, beberapa bangsa
dapat hidup dalam suatu negara, atau suatu bangsa dapat meluas melampaui
batas-batas suatu negara (hidup atau tinggal di beberapa negara). Bangsa dalam
arti yang tepat (strict) adalah suatu istilah sosio kultural dan dapat
dipergunakan tanpa hubungan atau digabungkan dengan arti hukum atau arti
politik.
Setiap negara anggota
mempunya "warga negara" nya sendiri (yaitu bangsanya), tetapi sebagai
tambahannya terdapat status "kaula" Inggris yang menunjukan
keanggotaannya pada persemakmuran ini yang terdiri dari privilege-privilege
tertentu. Memang beragam kaidah yang berbedabeda mengenai nasionalitas dijumpai
dalam perundang-undangan negara, kurangnya keseragaman ini sebagian besar
terlihat nyata dalam perbedaan berkenaan perolehan nasionalitas yang asli. Nasionalitas
harus dibedakan dari yang berikut ini:
1.
Ras
2.
keanggotan atau kewarganegaraan dari
negara bagian atau dari privinsi-provinsi suatu federasi
3.
hak untuk perlindungan diplomatic
4.
Hak-hak keraganegaraan, yang dapat
dihapuskan dari orang yang menjadi warga negara.
B.
CARA-CARA
MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN
Praktek
negara-negara memperlihatkan bahwa kewarganegaraan dapat diperoleh dengan
cara-cara pokok berikut ini:
1.
Melalui kelahiran baik menurut azas jus
soli (tempat kelahiran) ataupun azas jus sanguinis (nasionalitas orang tua pada
saat kelahiran) atau menurut keduanya.
2.
Melalui naturalisasi (pewarganegaraan),
baik dengan cara perkawinan, seperti pada saat seorang isteri memperoleh
kewarganegaraan suaminya, atau dengan legitimasi, ata melalui pemberian
kewarganegaraan, atas dasar permohonan kepada pihak berwenang dari negara.
3.
Para penduduk dari wilayah yang
ditaklukan atau yang diserahkan dapat memperoleh nasionalitas dari negara yang
menaklukannya, atau negara yang diserahi wilayah tersebut.
C.
IUS
SOLI, IUS SANGUINIS, APATRIDE, BIPATRIDE
Undang-undang dari
masing-masing negara menentukan bahwa nasionalitas seseorang ditentukan berdasarkan
:
1.
Tempat dimana orang tuanya berasal
(garis keturunan penduduk asli) (Ius Sanguinis).
2.
Hubungan darah atau garis keturunan (Ius
Sanguinis) dan oleh pernyataan tempat kelahiran (Ius Soli). Ius Sanguinis lebih
utama disbanding Ius Soli.
3.
Hubungan darah atau garis keturunan (Ius
Sanguinis) dan sebagian melalui tempat kelahiran (Ius Soli). Ius Sanguinis
lebih utama disbanding Ius Soli.
4.
Tempat kelahiran (Ius Soli).
Kurangnya keseragaman
dalam perundang-undangan Negara menyebabkan timbulnya beberapa persoalan yang
mengganggu karena adanya nasionalitas ganda (bipatride) tuna kewarganegaraan
(apatride) dan sengketa nasionalitas mengenai wanita-wanita kawin.
D.
HAPUS
ATAU HILANGNYA KEWARGANEGARAAN
Menurut praktek
Negara-negara, kewarganegaraan dapat hilang karena :
1. Pelepasan
atau penolakan
2. Pencabutan
3. Bertempat
tinggal lama di luar negeri.
E.
HAK-HAK
WARGA NEGARA
1.
Pemberian
hak perlindungan diplomatik di luar
negeri. Setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri.
2.
Negara
yang menjadi kebangsaan seseorang tertentu akan bertanggungjawab kepada negara
lain apabila negara itu melalaikan
kewajibannya mencegah tindakan-tindakan
melanggar hukum yang dilakukan oleh
orang yang bersangkutan atau negara
tersebut tidak menghukumnya, setelah
tindakan melanggar hukum itu dilakukan.
3.
Secara
umum, suatu negara tidak boleh menolak atau
menerima kembali warganegaranya
sendiri di wilayahnya.
4.
Nasionalitas
berhubungan erat dengan kesetiaan, dan salah satu hak utama dari kesetiaan
adalah kewajiban untuk dinas militer di negara terhadap mana kesetiaaan itu di baktikan.
5.
Suatu
negara mempunyai hak luas, kecuali adanya traktat khusus yang mengikatnya untuk melakukan hak itu, untuk menolak
pengekstradisian warganya kepada negara
lain yang meminta penyerahannya.
6.
Status
musuh dalam perang dapat ditentukan oleh nasionalitas orang tersebut.
7.
Suatu
negara melaksanakan yurisdiksi pidana dan yurisdiksi lainnya berdasarkan
nasionalitas.
BAB
IV
TEORI-TEORI
KEKUATAN HUKUM INTERNASIONAL DAN PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
1. Teori
Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
a. Teori
Hokum Alam (Natural Law)
Menurut
para penganut ajaran hokum ini, hokum internasioanal itu mengikat karena yaitu
tidak lain daripada hokum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat
bangsa-bangsa.
- Teori
yang mengatakan bahwa hokum internasional tidak lain daripada hokum tata
Negara yang mengatur hubungan luar suatu Negara.
- Teori
yang menyandarkan kekuatan mengikat hokum internasional pada kemauan
bersama.
- Teori
yang mendasarkan asa Pacta Sunt Servanda sebagi kaidah dasr hokum
internasional.
- Teori
yang berdasarkan kekuatan mengikat hokum internasional pada factor
biologis, social, dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta-fakta
kemasyarakatan.
2. Pembuatan
perjanjian internasioanal dibagi dalam 3 tahap, yaitu :
- Perundingan
(Negotiation)
- Penandatanganan
(Signature)
- Pengesahan
(Ratificaton)
BAB
V
NEGARA DALAM
SISTEM INTERNASIONAL : HUBUNGAN BERTETANGGA BAIK DAN JENIS NEGARA
A. ATURAN-ATURAN MENGENAI HUBUNGAN BERSAHABAT ANTARA
NEGARA-NEGARA
Beberapa aturan
mengenai hubungan bersahabat antara negara-negara terdiri dari:
1. Prinsip
yang mungkin sejalan dengan larangan dalam hukum nasional terhadap
penyalahgunaan hak bahwa suatu negara tidak boleh mengizinkan wilayahnya
digunakan untuk tujuan-tujuan yang membahayakan kepentingan-kepentingan negara
lain. Misalnya kasus yunani pada tahun 1946-1949.
2. Dalam
Trail Smelter Arbitration Case 1941 diakui bahwa prinsip-prinsip suatu negara
memikul kewajiban untuk melakukan pencegahan wilayahnya dijadikan sumber
kerugian ekonomi
3. Dalam
declaration on human environment tentang lingkungan hidup manusia bulan bumi
1972 dinyatakan bahwa negara-negara bertanggung jawab menjamin
aktivitas-aktivitas dalam yurisdiksi atau pengawasan mereka tidak menimbulakan
kerusakan lingkungan negara lain.
4. Dalam
corvu channal case (merites) 1949. Internasional court of justice menyatakan
bahwa telah menjadi susatu prinsip yang diakui oleh umum bahwa setiap negara
memikul kewajiban untuk tidak membiarkan wilayahnya digunakan untu tindakan
yang bertentangan dengan negara lain.
5. Dalam
pasal 74 charter perserikatan bangsa-bangsa, prinsip umum dibidang sosial,
ekonomi dan perdagangan ditetapkan sebagai hal yang harus diataati negara
anggota berkaitan dengan wilayah bagiannya.
6. Dalam
resolusi majelis umum PBB tanggal 3 november 1947 prinsip tentang kewajiban
menjalin persahabatan atara negara-negara yang ,mengutuk propaganda.
Lima prinsip tentang
hidup berdampingan secara damai disepakati oleh india dan RRC didalam
mukoddimah traktat mengenai tibet yang ditandatangani di beijing tanggal 29
april 1954:
- Saling
menghormati interritas dan kedaulatan tewritorial masing-masing
- Saling
tidak melakukan agresi (mutual non-agresional)
- Saling
tidak mencampuri urusan-urusan dalm negeri masing-masing
- Persamaan
kedudukan dan saling menguntungkan
- Hidup
berdampingan secara damai.
B.
JENIS-JENIS
NEGARA DAN KESATUAN BUKAN NEGARA
- Negara
kesatuan
- Negara
federasi
- Negara
konfederasi
- Protektorat
- Negara
vassal
- Wilayah
koloni
- Condominum
- Wilayah
perwalian(trust)
- Uni
- Mandat
- Dominion
- Negara-negara
netral
C.
HAK MENENTUKAN
NASIB SENDIRI BAGI RAKYAT DAN KESATUAN-KESATUAN YANG BELUM MERDEKA
Hak menetukan nasib sendiri
bagi rakyat dan kesatuan-kesatuan yang belum merdeka diakui secara tegas oleh
majelis umum PBB dalam resolusi tentang penetuan nasib sendiri tanggal 12
desember 1958, dan dalam deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada
negeri-negeri dan rakyat-rakyat jajahan pada tanggak 14 desember 1960. Hak
tersebut telah diuraikan secara rinci dibawah judul “prinsip persamaan hak dan
penentuan nasib sendiri rakyat”.
BAB VI
NEGARA DAN INDIVIDU
1. Teori Masuknya Warga Negara Asing
Teori-teori yang
menyangkut masalah kewarganegaraan lahir dari kondisi kontak sosial manusia
yang berlangsung lam kemudia diikuti dengan bentuk-bentuk kontak lainnya
sehingga dunia internasional perlu untuk secara bersama-sama menetapkan aturan
hukum tertulis.
2. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Terhadap Warga Negara Asing
- Suatu
negara berkewajiban memberi izin kepada semua orang asing
- Suatu
negara berkewajiban memberikan izin kepada orang asing, dengan syarat
negara tersebut berhak menolak golongan tertentu.
- Suatu
negara teriakt untuk mengizinkan orang asing untuk masuk tetapi dapat
mengenakan syarat-syarat yang berkenaan dengan izin untuk masuk mereka
- Suatu
negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing menurut kehendaknya.
3. kedudukan
hukum warga negara asing
- perlakuan
fiskal, berkenaan dengan perpajakan
- hak
untuk menjalankan profesi, industri atau mata pencaharian
- perlakuan
dalam beberapa hal seperti tempat tinggal pemilikan harta benda serta
imunitas sipil.
- syarat
perizinan masuk dan keimigrasian.
4. Ekstradisi
dan Asyilum
- Ekstradisi
Merupakan
suatu proses diaman berdasarkan traktat atau reprositas suatu negara
menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang dituduh atau
dihukum karena melanggar hukum negara yang mengajukan permintaan.
- Asylum
yaitu pemberian suaka.
BAB
VII
PENGAKUAN
INTERNASIONAL
Pengakuan Internasional
Pendahuluan Pranata hokum yang berupa Pengakuan terhadap suatu bangsa, umumnya
masih sangat muda. Kemunculannya baru sekitar sesudah perang dunia I terutama
dengan timbulnya pergolakan di Polandia. Munculnya teori Pengakuan juga
memberikan dorongan kepada bangsa-bangsa terjajah untuk memperjuangkan haknya.
Eksistensi suatu Negara juga berkenaan dengan kemampuannya menyelenggarakan
hubungan internasional, meskipun kepastian batas wilayah belum ditentukan.
1. Teori
mengenai hakikat dan fungsi dari “Pengakuan” Menurut J.G.Starke dalam bukunya
terdapat dua teori, yaitu :
- Teori
konstitutif : hanya tindakan pengakuanlah yang menciptakan status
kenegaraan atau melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya dilingkungan
Internasional
- Teori
deklaratif : status kenegaraan tidak tergantung pada pengakuan semata,
pengakuan hanya pengumuman resmi semata terhadap fakta yang ada. Adanya
pertentangan mengenai teori konstitutif dan deklaratif sehingga menimbulkan
bantahan-bantahan terhadap kedua teori tersebut.
2. Cara-cara
atau praktek Negara dalam member “Pengakuan”
Hokum internasional
tidaka mengatur bagaimana cara member pengakuan. Oleh karena itu setiap Negara
bebas menurut caranya sendiri dalam member pengakuan. Pada dasarnya cara memberi
pengakuan dapat dibedakan dengan empat cara :
- Pemberian
pengakuan yang dilakuakan secara tegas;
Ini
dapat dilihat dengan adanya nota diplomatic atau pembukaan kedutaan besar di
suatu Negara.
- Pemberian
pengakuan secara diam-diam atau tersirat;
ini
didasarkan tindakan pihak yang bersangkutan sehingga adanya kesimpilan terdapat
niat untuk memberi pengakuan.
Tindakan
yang dikatakan pengakuan tersirat :
1) Menerima
kunjungan kepala Negara
2) Mengibarkan
bendera yang bersangkutan
3) Menyampaikan
pernyataan selamat, dan lain-lain
- Pemberiaan
pengakuan secara bersyarat, dimana adanya kewajiban yang harus dipenuhi
Negara itu.
Contoh
konkrit dari pengakuan bersyarat yaitu :
1) Ketika
AS mengakui kemerdekaan Bolivia pada tahun 1917 ketika AS mensyaratkan bahwa
Bolivia berjanji tidak akan mensionalisasikan PMA AS di Bolivia.
2) Kongres
Berlin 1928 yang member pengakuan terhadap Serbia dan Montenegro demham syarat
pemerintah Serbia maupun Montenegro tidak memberlakukan larangan agama atau
tidak boleh memaksakan penyimpangan agama terhadap warga negaranya
- Dampak
atau konsekuensi adanya pengakuan internasional Pengakuan akan menimbulkan
hak-hak dan kewajiban, kekuasaan-kekuasaan, privilege dari Negara yang
diakui menurut hokum internasional maupun menurut hokum nasional Negara
yang member pengakuan.
- Kesimpulan
Pengakuan harus dilihat berdasarkan sudut pandang Negara yang member
pengakuan. Dalam prakteknya pengakuan lebih merupakan maslah politik dan
maslah hokum. Pertimbangan politis lebih dominan dalam member pengakuan
seperti, perdagangan dan strategi. Tindakan Negara memberi atau menolak
member pengakuan belum dapat dikontrol oleh kaidah hokum yang tegas.
Pengakuan bukan pranata hokum yang objektif karena lebih bersifat
subjektif. Begitu pula dalam cara-cara member pengakuan, dimana tidak ada
aturan bagaimana cara member pengakuan terhadap suatu Negara. Sehingga
adanya usulan agar pengakuan dihilangkan sehingga akan mempermudah
hubungan atar Negara (Richard Baxter, 1979-1980).
BAB
VIII
KEDAULATAN
TERITORIAL NEGARA DAN HAK-HAK TERITORIAL LAIN YANG LEBIH KECIL
A.
KEDAULATAN
TERITORIAL DAN HAK-HAK LAIN YANG LEBIH KECIL
“Kedaulatan dalam
hubungan antara Negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkenaan
dengan suatu bagian dari muka bumi ini adalah hak untuk melaksanakan di
dalamnya, tanpa campur tangan Negara lain, fungsi-fungsi suatu Negara”
1.
Memperoleh
Kekuasaan Territorial
Ada tujuh cara yang
diakui secara umum dan secara tradisional untuk mendapatkan kedaulatan
territorial ialah :
- Pendudukan
(okupasi) Ialah penegakan kedaulatan atas wilayah yang bukan dibawah
wewenang negara lain.
- Penaklukan
(aneksasi) Adalah suatu metode memperoleh kedaulatan territorial yang
digunakan dalam dua perangkat
- Akresi
(perubahan karena factor alam) Akresi terjadi bila suatu Negara bertambah
wilayahnya karena factor-faktor perubahan alam, yang mungkin oleh
pelebaran aliran sungai atau factor perubahan alam lain.
- Preskripsi
(pengalihan hak atau kadaluarsa) Adalah pelaksanaan de fakto secara damai
untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk pada kedaulatan
Negara yang satu lagi.
- Sesi
(penyerahan) Merupakan suatu metode yang penting untuk memperoleh
kedaulatan territorial.
- Integrasi
/ disintegrasi Integrasi merupakan penggabungan sebuah kawasan atau
wilayah kedalam suatu Negara yang mana biasanya Negara yang akan diajak
bergabung atau berintegrasi tersebut.
- Revolusi
(Independen) Sebuah Negara independen ialah merupakan sebuah Negara yang
berdiri sendiri tanpa ada bantuan dari Negara lain maupun campur tangan
dari pihak lain.
Dua
cara berikutnya adalah :
- Proses
dekolonisasi
- Keputusan
konverensi internasional.
2.
Perolehan
Kedaulatan Teritorial oleh Negara-Negara Yang Baru Muncul
Pandangan mengenai
perolehan wilayah oleh Negara-negara yang baru muncul itu sesuai dengan prinsip
yang dinyatakan dalam deklarasi tentang prinsip-prinsip hokum internasional
mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar Negara-negara menurut PBB.
3.
Kehilangan
Kedaulatan Territorial
Metode-metode
kehilangan kedaulatan territorial persis sama dengan cara memperolehnya. Jadi
kedaulatan territorial dapat hilang dengan dereliksi (sesuai dengan pendudukan
di pihak yang memperoleh dan yang menuntut suatu maksud sebaliknya dipihak
Negara yang meninggalkan untuk melepasakan penguasaan efektifnya), dengan
penaklukan operasi alam dan dengan preskripsi.
4.
Kedaulatan
atas Wilayah Udara
Sebelum perang dunia I
(1914-1918), satu-satunya hal yang mendapat persetujuan universal adalah bahwa
wilayah udara di atas laut bebas dan wilayah tidak bertuan tentu saja babas dan
terbuka.
5.
Lapisan
atas Atmosfer, Angkasa Luar dan Kosmos
Masalh baru dalam hokum internasional
telah diciptakan oleh semakin intensifnya kegiatan Negara-negara di lapisan
atmosfer, di angkasa luar dan kosmos, dan juga oleh kemajuan-kemajuan
spektakuler dalam teknologi luar angkasa.
B.
BATAS-BATAS
DAN SUNGAI
1.
Batas-batas
Batas-batas merupakan
salah satu manifestasi terpenting dari kedaulatan territorial Negara. Sejauh
batas-batas itu diakui secara eksplisit oleh traktat, atau secara umum diakui
tanpa deklarasi eksplisit maka batas-batas itu merupakan bagian dari hak suatu
Negara terhadap wilayah.
2.
Sungai
Bila sebuah sungai
seluruhnya berada dalam wilayah suatu Negara, maka sungai itu seluruhnya milik
Negara itu dan pada umumnya Negara lain tidak mempunyai navigasi disitu. Juga
bila sebuah sungai melintasi wilayah beberapa Negara, setiap Negara memiliki
bagian sungai yang mengalir melintasi wilayahnya.
3.
Hak
Menikmati dan Fasilitas Teritorial
Menurut praktek
sekarang hak menikmati internasional dapat didefinisikan sebagai suatu
pembatasan kekecualian yang dibebankan oleh traktat atas kedaulatan wilayah
suatu Negara dengan man wilayah Negara itu berada dibawah syarat-syarat atau
pembatasan yang melayani kepentingan Negara lain atau kesatuan beukan Negara.
Sebuah contoh yang terkenal ialah, syarat bahwa kota perbatasan huningen di al
sace tidak boleh dibentengi demi kepentingan canton basle (swiss).
BAB
IX
HAL
TANGGUNG JAWAB ATAS PERBUATAN NEGARA
A.
BATASAN-BATASAN
HAK DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HAL TERJADINYA PERGANTIAN PEMERINTAH ATAU
PERGESERAN KEKUASAAN.
Batasan-batasan antara
hukum internasional dan hukum nasional dalam dua hal, yaitu :
1.
Penyelenggaraan kewajiban atau
tidak dilaksanakannya beberapa kaidah tindakan oleh suatu negara yang dianggap
menimbvulkan tanggung jawab.
2.
Kewenangan atau kompetensi badan
negara yang melakukan kesalahan.
Dari kedua prinsip diatas, bahwa suatu negara tidak
dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai dasar alasan untuk menghindari
suatu kewajiban internasional.
Pembelaan
Diri dan Dasar-Dasar Pembenaran
Masalah pembelaan diri
dan dasr-dasar pembenaran (defense and justification) berkaitan dengan satu
klaim terhadap tanggung jawab negara, maka suatu produk permasalahan yang pada umumnya
diuraikan dalam beberapa traktat hukum internasional. Pada tahun 1979 Hukum
Internasional mengeluarkan rangcangan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
pembelaan diri dan pada tahun 1980 Komisi Hukum Internasional mengeluarkan dua
pasal penting mengenai dasar-dasar pembenaran, masing masing keterpaksaan
(necessity) dan pembelaan diri (self defence).
B.
DOKTRIN-DOKTRIN
MENGENAI CLAIM ATAU TUNTUTAN DAN CARA PEMBAYARAN HUTANG (DOKTRIN DRAGO DAN
CALVO)
1.
Klausula
Calvo
Untuk membahas
klausula-klausula dalam bentuknya yang dikenal “Klausula Calvo” sering
dimasukkan dalam kontrak-kontrak antara pemerintah tengah dan selatan. Menurut
Klausula tersebut, konsesioner asing melepaskan perlindungan atau bantuan dari
pemerintah negara asalnya dalam setiap persoalan yang muncul dari konrak.
Klausula tersebut dapat
disimpulkan :
- Sejauh
klausula tersebut berusaha untuk menghapus secara umum hak berdaulat suatu
negara untuk melindungi warganegaranya maka klausula tersebut dianggap
batal.
- Tetapi,
mengitip pernyataan pemerintah inggris, “tidak ada peraturann untuk mencegah
pencantuman suatu syarat dalam kontrak dalam segala masalah yang
menyangkut kontrak yuridis dari pengadilan-pengadilan lokal adalah lengkap
dan eksekutif.
- Apabila
syarat itu bertujuan untuk mengikat pemerintah, pihak yang mengajukan
klaim untuk tidak campur tangan dalam kaitan penyelenggaraan nyata hukum
internasional,maka klausula tersebut batal.
Jadi Klausula Calvo
tidak berlaku untuk menghalangi hak-hak negara untuk melindungi warganegara untuk
melindungi orang-orang asing di negara mereka.
2.
Hutang-Hutang
Klaim-klaim yang isinya
menuntut tanggung jawab negara terhadap hutang-hutang sering timbul dalam
kasus-kasus suksesi negara dimana suatu negara yang menganeksasi atau negara
suksesor mengelakan kewajuban-kewajiban finansial dari negara yang digantikan.
Namun klaim-klaim itu juga muncul dalam beberapa kasusu dimana
pemerintah-pemerintah gagal dalam pelayanan pinjaman atau lalai memenuhi
kontribusi-kontribusinya kepada lembaga-lembaga Internasional dimana mereka
menjadi anggota.
3.
Klaim-Klaim
Suatu negara mempunyai
hak untuk melindungi warganegaranya yang berada di luar negeri, Maka negara
berhak ikut campur tangan secara diplomatik atau mengajukan klaim untuk
penyelesian yang memuaskan dihadapan suatu pengadilan arbitrase internasional
apabila salah satu dari rakyatnya telah mendapat kerugian tidak sah yang untuk
mana negara lain yang bertanggung jawab.
4.
Kerugian-kerugian
Menurut hukum
internasional, dalam persoalan tanggung jawab negara, suatu negara penuntut
berhak atas ganti rugi apabila tuntutannya telah dibenarkan, terlepas dari
apakah tidakan melawan hukum yang menjadi pokok tuntutan itu menyebabkan
kerugian material, atau kerugian keuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar