Jumat, 11 April 2014

“HUKUM INTERNASIONAL” Drs. T. May Rudy, SH., MIR., M.Sc.

RESUME

HUKUM INTERNASIONAL
Drs. T. May Rudy, SH., MIR., M.Sc.

Dosen : Drs. H.Munawar Rois., M.Pd


Di Susun Oleh :


Agus Syahryal
NPM : 01020201090161











PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
Kampus : Jl. Pasir Gede Raya Telp. (0263) 270106 – 268672 Cianjur 43216

“HUKUM ISLAM” Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H.

RESUME

HUKUM ISLAM
Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H.

Dosen : Drs. H.Munawar Rois., M.Pd


Di Susun Oleh :


Agus Syahryal
NPM : 01020201090161











PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR

Kampus : Jl. Pasir Gede Raya Telp. (0263) 270106 – 268672 Cianjur 43216

HAM DAN PENEGAKKAN HUKUM (Hendra Prijatna, M.Pd)

HAM  DAN  PENEGAKKAN  HUKUM
(Hendra Prijatna,  M.Pd)

RESUME BAB I
HAK ASASI MANUSIA

  1. Hakekat HAM
Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, dan mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, mempunyai budi dan karsa yang merdeka sendiri. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang sama, dan memiliki hak-hak yang sama pula. Derajat manusia yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Dengan demikian semua manusia bebas mengembangkan dirinya sesuai dengan budinya yang sehat.
Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, semua manusia memiliki hak-hak yang sama sebagai manusia. Hak-hak yang sama sebagai manusia inilah yang sering disebut hak asasi manusia. Hak asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, maksudnya hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Hak asasi manusia (HAM) adalah hakhak dasar yang dimiliki manusia sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Dengan mendasarkan pada pengertian HAM di atas, maka HAM memiliki landasan utama, yaitu:
  1. Landasan langsung yang pertama, yaitu kodrat manusia;
  2. Landasan kedua yang lebih dalam, yaitu Tuhan yang menciptakan manusia.
Jadi HAM pada hakekatnya merupakan hak-hak fundamental yang melekat pada kodrat manusia sendiri , yaitu hak-hak yang paling dasar dari aspek-aspek kodrat manusia sebagai manusia. Setiap manusia adalah ciptaan yang luhur dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia harus dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus berkembang secara leluasa. Pengembangan diri sebagai manusia dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sebagai asal dan tujuan hidup manusia. Semua hak yang berakar dalam kodratnya sebagai manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dengan demikian hak-hak ini adalah universal atau berlaku di manapun di dunia ini. Di mana ada manusia di situ ada HAM dan harus dijunjung tinggi oleh siapapun tanpa kecuali. HAM tidak tergantung dari pengakuan orang lain, tidak tergantung dari pengakuan mesyarakat atau negara.
Manusia memperoleh hak-hak asasi itu langsung dari Tuhan sendiri karena kodratnya.(secundum suam naturam) Penindasan terhadap HAM bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan, sebab prinsip dasar keadilan dan kemanusiaan adalah bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama dengan hak-hak dan kewajibankewajiban yang sama. Oleh karenanya, setiap manusia dan setiap negara di dunia wajib mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) tanpa kecuali. Penindasan terhadap HAM berarti pelanggaran terhadap HAM.
Pengakuan oleh orang-orang lain maupun oleh Negara ataupun agama tidaklah membuat adanya HAM itu. Demikian pula orang-orang lain, negara dan agama tidaklah dapat menghilangkan atau menghapuskan adanya HAM. Setiap manusia, setiap negara di manapun, kapanpun wajib mengakui dan menjunjung tinggi HAM sebagai hak-hak fundamental atau hak-hak dasar. Penindasan terhadap HAM adalah bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan.
Untuk mempertegas hakekat dan pengertian HAM di atas dikuatkanlah dengan landasan hukum HAM sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

B.     Sosial dalam Lahirnya HAM
Hak asasi bisa dimengerti sebagai hak paling mendasar dan dimiliki oleh setiap manusia. Hak ini tidak diperoleh dari kelompok sosial maupun dari institusi yang lebih tinggi, tetapi built in dalam kehadirannya sebagai manusia. Asumsi mendasar hak asasi adalah bahwa manusia dilahirkan dengan hak sama, bebas, dan merdeka. Kendati rumusannya begitu sederhana, Saafroedin Bahar menunjukkan dalam Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia (2002), betapa kompleks permasalahan HAM di setiap negara. Kompleksitas itu karena adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia bersifat majemuk. Kendati begitu, sekurang-kurangnya, dia berhasil menggolongkan permasalahan HAM dalam enam bidang, yakni (1) permasalahan filsafat dan ideologi, (2) agama dan keimanan, (3) politik dan hukum, (4) sosial-budya , (5) Sosial-ekonomi, dan (4) keamanan.
Berdasarkan konteks filsafat dan ideologi, problematika HAM di Indonesia telah dirumuskan dalam bentuk kesepakatan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No 39 tahun 1999 yang pada intinya masing-masing komponen bangsa sepakat menjunjung hak dasar manusia. Dengan asumsi adanya hak dasar itu, Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak sasasi manusia, karena tanpa hak tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) (Bahar, 2002: 127).
Hak mendasar adalah penghormatan harkat dan martabat manusia sedangkan pelanggaran terhadap hak itu cenderung mengarah pada kesewenang-wenangan. Penghormatan itu secara normatif, selain telah didefinisikan dalam UU sebelumnya, juga ditandaskan sekali lagi dengan adanya Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Implementasi HAM dalam praktik kehidupan sehari-hari di Indonesia bisa dilihat dari uraian Kaelan MS dalam bukunya, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (2002). Menurutnya, rumusan praksis HAM bisa ditemukan dalam Pancasila karena Pancasila adalah dasar negara dan negara pada hakikatnya adalah lembaga persekutuan hidup bersama yang unsur-unsurnya adalah manusia dan demi tujuan harkat dan martabat manusia (2002: 141) . Konsepsi HAM ini merupakan dasar etis dalam kehidupan berbangsa.
Ciri HAM yang paling utama adalah hak untuk bebas, demikian diungkapkan oleh Erich Fromm dalam Escape from Freedom (1968: 47). Semua manusia ditakdirkan untuk bebas. Kendati semua manusia lahir dalam kondisi bebas, praktis kebebasan manusia bukannya tidak terbatas. Mereka terbatas oleh kebebasan manusia lain. Dengan begitu, Fromm menyimpulkan, kebebasan itu sebetulnya bukan kebebasan murni yang bebas dari tekanan apa pun, termasuk otorianisme, kediktatoran, tekanan kejiwaan, serta kekuasaankekuasaan yang siap mengancam kebebasan tiap individu.
Karena itu, kebebasan dalam arti sebebas-bebasnya tidaklah mungkin karena orang lain boleh dikatakan membatasi kebebasan yang dimiliki manusia di sisinya. Kendati begitu, pernyataan kebebasan itu pertama-tama telah diumumkan sebagai kesepakatan dalam Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Pada pasal pertama, diumumkan dengan sangat jelas:
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan . Kalimat pertama adalah kesepakatan kondisi manusia yang ditakdirkan merdeka dan bermartabat . Rasionalitas yang digunakan, bahwa di dalam diri manusia terkandung nalar dan hati. Dua hal itu tidak dimiliki oleh makhluk lain kecuali manusia.
Kondisi yang mendasar ini langsung diteruskan tuntutan dalam kalimat selanjutnya. Karena sama-sama memiliki kebebasan, maka setiap orang dituntut untuk menjalin persaudaraan. Jalinan itu bukan untuk menghilangkan kebebasan, tetapi sebaliknya, meneguhkan kebebasan yang melekat di dalam dirinya (1948: 85).
Kondisi dasar manusia dan tuntutan yang melekat dalam kondisi dasar itu menjadi konvensi yang bisa dijadikan pegangan untuk semua manusia. Pegangan itu kemudian ditutup dengan kalimat dalam pasal 30: Tak satu pun hal dari pernyataan ini yang boleh ditafsirkan sebagai pemberian hak kepada negara, kelompok ataupun seseorang, untuk terlibat dalam kegiaan apa pun atau melakukan perbuatan yang bertujuan untuk merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Pernyataan ini .
Kalimat penutup atas sebuah konvensi ini sebetulnya berisi rambu-rambu larangan yang diumumkan bagi kelangsungan hak asasi selanjutnya. Rambu ini dilakukan untuk menegaskan adanya kemerdekaan itu. Kata lain yang bisa ditulis, kemerdekaan Anda adalah kondisi mendasar Anda, tetapi dengan berbekal kondisi itu Anda diharapkan untuk menjalin persaudaraan dengan orang lain. Jalinan persaudaraan itu dilandasi penghargaan atas kebebasan orang lain, dan bukan sebaliknya. Karena itu, dengan alas an apa pun Anda dilarang untuk merampas kebebasan orang lain.

  1. Hukum dan Kelembagaan HAM
1.      Beberapa Ketentuan Hukum atau Instrumen HAM
John Locke, pemikir politik dari Inggris, menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak–hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan. Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai konsep HAM yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan HAM di berbagai belahan dunia.
Pengakuan hak asasi manusia (HAM) secara konstitusional ditetapkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1776 dengan “Unanimous Declaration of Independence”, dan hal ini dijadikan contoh bagi majelis nasional Perancis ketika menerima deklarasi hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des Droits de l’homme et de Citoyen) 26 Agustus 1789. Badan dunia yaitu PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga memperkenalkan pengertian hak asasi manusia yang bisa kita dapatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right / UDHR). Deklarasi Universal merupakan pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan manusia yang harus ada pada pengertian hak asasi manusia
Dalam UDHR pengertian HAM dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak–hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia.
Sejak munculnya Deklarasi Universal HAM itulah secara internasional HAM telah diatur dalam ketentuan hukum sebagai instrumen internasional. Ketentuan hukum HAM atau disebut juga Instrumen HAM merupakan alat yang berupa peraturan perundang- undangan yang digunakan dalam menjamin perlindungan dan penegakan HAM. Instrumen HAM terdiri atas instrumen nasional HAM dan instrumen internasional HAM. Instrumen nasional HAM berlaku terbatas pada suatu negara sedangkan instrumen internasional HAM menjadi acuan negara–negara di dunia dan mengikat secara hukum bagi negara yang telah mengesahkannya (meratifikasi).
Di negara kita dalam era reformasi sekarang ini, upaya untuk menjabarkan ketentuan hak asasi manusia telah dilakukan melalui amandemen UUD 1945 dan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang HAM.

  1. Undang Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, ada Bab yang secara eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia yaitu Bab XA yang bersikan pasal 28A s/d 28J. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 jaminan HAM lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan Pasal-pasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas XI bab dan 106 pasal. Apabila dicermati jaminan HAM dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999, secara garis besar meliputi :
1)      Hak untuk hidup (misalnya hak: mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan lahir batin, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat);
2)      Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3)      Hak mengembangkan diri (misalnya hak : pemenuhan kebutuhan dasar,meningkatkan kualitas hidup, memperoleh manfaat dari iptek, memperoleh informasi, melakukan pekerjaan sosial);
4)      Hak memperoleh keadilan (misalnya hak : kepastian hukum, persamaan di depan hukum);
5)      Hak atas kebebasan pribadi (misalnya hak : memeluk agama, keyakinan politik, memilih status kewarganegaraan, berpendapat dan menyebarluaskannya, mendirikan parpol, LSM dan organisasi lain, bebas bergerak dan bertempat tinggal);
6)      Hak atas rasa aman (misalnya hak : memperoleh suaka politik, perlindungan terhadap ancaman ketakutan, melakukan hubungan komunikasi, perlindungan terhadap penyiksaan, penghilangan dengan paksa dan penghilangan nyawa);
7)      Hak atas kesejahteraan (misalnya hak : milik pribadi dan kolektif, memperoleh pekerjaan yang layak, mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak, kehidupan yang layak, dan jaminan sosial);
8)      Hak turut serta dalam pemerintahan (misalnya hak: memilih dan dipilih dalam pemilu, partisipasi langsung dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan pemerintah, mengajukan usulan kepada pemerintah);
9)      Hak wanita (hak yang sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang politik, pekerjaan, status kewarganegaraan, keluarga perkawinan);
10)  Hak anak (misalnya hak : perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan sexual, perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya).

  1. Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi Wanita).
Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki – perempuan) harus dihapus. Misalnya, perlakuan pemberian upah buruh wanita dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula dunia politik bukanlah milik pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi perbedaan penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya tetapi karena perbedaan pada prestasi.
Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria. Kita tidak dapat menyangkal besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak . Hal ini menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar diskriminasi.

  1. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang ini, sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum undang-undang ini antara lain:
1)      Bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
2)      Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
3)      Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hakasasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
4)      Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hakhak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
5)      Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undangundang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
a.       Nondiskriminasi;
b.      Kepentingan yang terbaik bagi anak
c.       Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.      Penghargaan terhadap pendapat anak.
6)      Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

  1. Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).
Konvensi ini mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Ini berarti negara RI yang telah meratifikasi wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam wilayah yuridiksinya. Misalnya langkah yang dilakukan dengan memperbaiki cara interograsi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggungjawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya.

  1. Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Menurut Konvensi ILO (International Labour Organization/Organisasi Buruh Internasional) tersebut, istilah “bentuk-bentuk terburuk kerja anak” mengandung pengertian sebagai berikut:
1)      Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, misalnya:
a)      Penjualan anak;
b)      Perdagangan anak-anak;
c)      Kerja ijon;
d)     Perhambaan (perbudakan);
e)      Kerja paksa atau wajib kerja;
f)       Pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2)      Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
3)      Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan.
4)      Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
Dengan UURI Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182, maka Negara Republik Indonesia wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan praktek memperkerjakan anak dalam bentuk-bentuk terburuk kerja anak dalam industri maupun masyarakat.

  1. Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights)
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal. Intinya kovenan ini mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang meliputi :
1)      Hak atas pekerjaan,
2)      Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan,
3)      Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh
4)      Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial,
5)      Hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda,
6)      Hak atas standar kehidupan yang memadai,
7)      Hak untuk menikmati standar kesehatan fi sik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai,
8)      Hak atas pendidikan , dan
9)      Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya.

  1. Undang Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam UDHR sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal. Hak-hak sipil (kebebasan-kebebasan fundamental) dan hak-hak politik meliputi hak-hak berikut :
 Macam-macam Hak-hak Sipil dan Hak-hak Politik
Hak-hak Sipil / Kebebasan-kebebasan Fundamental
Hak – hak Politik
1)      Hak hidup;
2)      Hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat;
3)      Hak bebas dari perbudakan
4)      Hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang;
5)      Hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri;
6)      Hak persamaan di depan peradilan dan badan peradilan;
7)      Hak atas praduga tak bersalah.
8)      Hak kebebasan berpikir;
9)      Hak berkeyakinan dan beragama;
10)  Hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain;
11)  Hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
12)  Hak atas perkawinan/membentuk keluarga;
13)  Hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan;
14)  Hak persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan
15)  Hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
1)      Hak untuk berkumpul yangbersifat damai;
2)      Hak kebebasan berserikat
3)      Hak ikut serta dalam urusan publik;
4)      Hak memilih dan dipilih;
5)      Hak untuk mempunyai akses pada jabatan publik di negaranya


2.      Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM
Bagaimana latar belakang lahirnya instrument nasional HAM atau perundang undangan nasional HAM ? Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum disusun secara sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hak asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5 (lima) pokok mengenai hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu :
  1. Kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
  2. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
  3. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28);
  4. Kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
  5. Hak atas pengajaran (Pasal 31 ayat 1).
Masuknya pasal-pasal HAM dalam UUD 1945 di atas, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Soekarno dan Soepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukan (terutama Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang berbeda tersebut sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid I, antara lain sebagai berikut.
Bung Karno menjelaskan bahwa telah ditentukan sidang pertama bahwa ”kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat terhadap dasar individualisme. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet (undang-undang dasar) menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan member suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial) yang demikian itu ? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul–betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong–menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalism daripadanya. Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham Panitia Perancang UUD satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang kemudian didukung oleh Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta, antara lain menyatakan : “…Mendirikan negara yang baru, hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan sampai menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara Pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita adalah membaharui masyarakat. Tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu Negara Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suara”. Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya kemudian didukung oleh Muhammad
Yamin.
Dengan demikian memahami pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945 rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Bung Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam kenyataan pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa.
Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah. Hal itu dapat dicermati bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter. Sampai memasuki abad ke-21 persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan HAM, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sebagai warga dunia dan anggota PBB memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Begitu pula atas desakan masyarakat bagi pengembangan kehidupan yang demokratis dan pelaksanaan HAM serta adanya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, maka dipandang perlu membentuk Undang-Undang HAM. UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dalam suasana di atas.

3.      Kelembagaan HAM
Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibentuk lembaga-lembaga resmi oleh pemerintah seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Peradilan HAM dan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat terutama dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM. Uraian masing–masing sebagai berikut.
  1. Komnas HAM
Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM ( Bab VIII, pasal 75 s/d. 99) maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan UURI Nomor 39 Tahun 1999. Komnas HAM bertujuan:
1)      Membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia.
2)      Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan fungsi sebagai berikut :
1)      Fungsi pengkajian dan penelitian. Untuk melaksanakan fungsi ini, Komnas HAM berwenang antara lain:
a)      Melakukan pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran - saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi
b)      Melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan perubahan dan pencabutan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
2)      Fungsi penyuluhan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi ini, Komnas HAM berwenang:
a)      Menyebarluaskan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia.
b)      Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya.
c)      Kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3)      Fungsi pemantauan. Fungsi ini mencakup kewenangan antara lain:
a)      Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
b)      Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
c)      Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai atau didengar keterangannya.
d)     Pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan.
e)      Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
f)       Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan.
g)      Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan ketua pengadilan.
h)      Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah public dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat komnas ham tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4)      Fungsi mediasi. Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang untuk melakukan :
a)      Perdamaian kedua belah pihak.
b)      Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
c)      Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
d)     Penyampaian rekomendasi atas sesuatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya.
e)      Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR ri untuk ditindaklanjuti.
Bagi setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan dilayani apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar
dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.

  1. Pengadilan HAM
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompk bangsa, ras, kelompok, etnis, dan agama. Cara yang dilakukan dalam kejahatan genosida, misalnya ; membunuh, tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental, menciptakan kondisi yang berakibat kemusnahan fisik, memaksa tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran, memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan misalnya:
1)      Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan;
2)      Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
3)      Perampasan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional;
4)      Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
5)      Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
6)      Penghilangan orang secara paksa (penangkapan, penahanan, atau penculikan disertai penolakan pengakuan melakukan tindakan tersebut dan pemberian informasi tentang nasib dan keberadaan korban dengan maksud melepaskan dari perlindungan hukum dalam waktu yang panjang);
7)      Kejahatan apartheid (penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok ras atas kelompok ras atau kelompok lain dan dilakukan dengan maskud untuk mempertahan peraturan pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim).
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah negara RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal Pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum di undangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive (berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat.

  1. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Komisi National Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir berawal dari gerakan nasional perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997. Kemudian pada era reformasi, tanggung jawab untuk memberikan perlindungan anak diserahkan kepada masyarakat.
Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan, misalnya: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga yang mendorong lahirnya UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Disamping KNPA juga dikenal KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). KPAI dibentuk berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :
  1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak
  2. Mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
  3. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Misalnya untuk tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI meminta pemerintah segera membuat undang-undang larangan merokok bagi anak atau setidak-tidaknya memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU Kesehatan (yang sedang dalam proses amandemen) dan atau UU Kesejahteraan Sosial (yang sedang dalam proses pembuatan). KPAI sangat prihatin karena jumlah anak yang merokok cenderung semakin meningkat. KPAI menunjukan data perkembangan anak yang merokok dari tahun 2001-2004 sebagai berikut:
a)      Jumlah perokok pemula usia 5-9 tahun meningkat 400% (dari 0,89% menjadi 1,8 %);
b)      Perokok usia 10-14 tahun naik 21 % (dari 9,5 % menjadi 11,5 %);
c)      Perokok usia 15-19 tahun naik menjadi 63,9% ; KPAI juga mencatat konsumsi rokok tahun 2006 mencapai 230 milyar batang padahal tahun 1970 baru 33 milyar, akibatnya 43 juta anak terancam penyakit mematikan (Wawancara Ketua KPAI dengan RCTI tanggal 15 Februari 2008)

  1. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini
adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional ini bersifat independen dan bertujuan:
  1. Menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan.
  2. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan.
  3. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, Komisi Nasional ini memiliki kegiatan sebagai berikut:
1)      penyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
2)      pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrument PBB mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan.
3)      pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
4)      penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat.
5)      pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.

  1. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Keberadan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk :
1)      Memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar Pengadilan HAM ketika penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad Hoc mengalami kebuntuan;
2)      Sarana mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk menyelesaikan di luar pengadilan HAM.
Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan, sebab kalau tidak dapat diselesaikan maka akan menjadi ganjalan bagi upaya menciptakan rasa keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Apabila rasa keadilan dan keinginan masyarakat untuk mengungkap kebenaran dapat diwujudkan, maka akan dapat diwujudkan rekonsiliasi (perdamaian/perukunan kembali). Rekonsiliasi ini penting agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dihindarkan dari konflik dan dendam sejarah yang berkepanjangan antar sesama anak bangsa. Perdamaian sesama anak bangsa merupakan modal utama untuk membangun bangsa dan negara ini ke arah kemajuan dalam segala bidang.

  1. MLSM Pro-demokrasi dan HAM
Disamping lembaga penegakan hak asasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah, masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga HAM. Lembaga HAM bentukan masyarakat terutama dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (Non Governmental Organization) yang programnya berfokus pada upaya pengembangan kehidupan yang demokratis (demokratisasi) dan pengembangan HAM. LSM ini sering disebut sebagai LSM Prodemokrasi dan HAM. Yang termasuk LSM ini antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia). LSM yang menangani berbagai aspek HAM, sesuai dengan minat dan kemampuannya sendiri pada umumnya terbentuk sebelum didirikannya Komnas HAM.
Dalam pelaksanaan perlindungan dan penegakkan HAM, LSM tampak merupakan mitra kerja Komnas HAM. Misalnya, LSM mendampingi para korban pelanggaran HAM ke Komnas HAM. Di berbagai daerah-pun kini telah berkembang pesat LSM dengan minat pada aspek HAM dan demokrasi maupun aspek kehidupan yang lain. Misalnya di Yogyakarta terdapat kurang lebih 22 LSM. LSM di daerah Yogyakarta ada yang merupakan cabang dari LSM Pusat (Nasional) juga ada yang berdiri sendiri.










RESUME BAB II

GAMBARAN  UMUM  KONSEP  HUKUM

                               
            Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang selalu mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern. Hal ini karena hukum merupakan sarana pembangunan. Konsep tersebut di adopsi dari pendapat Roscoe Pound, yaitu “law as a tool of social engineering”, yang artinya hukum merupakan suatu alat yang ampuh untuk mencapai pembaharuan masyarakat.
            Hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan di masyarakat. Asas dan kaidah menggambarkan hukum sebagai gejala normatif, sedangkan lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai gejala sosial. Hukum sebagai gejala normatif, diartikan bahwa bentuk hukumnya yang dikehendaki adalah perundang-undangan, sedangkan hukum sebagai gejala sosial berarti faktor-faktor non yuridis, sepeti dikatakan Kelsen dalam teori murni tentang hukum, yaitu: “Filosofis, Etis, Sosiologis, Ekonomis, dan Politis” perlu diperhatikan. Sebagai cerminan suasana pembangunan (das sein) harus di-sollen-kan, yaitu pasal-pasal perundang-undangan mana yang harus diperbaiki, disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan.
            Dalam menggagas dan membahas konsep-konsep hukum dalam pembangunan, penulis buku juga memperhatikan pandangan aliran hukum alam tentang nilai-nilai moral tertinggi yaitu keadilan. Kemudian pandangan Mazhab Sejarah tentang lembaga hukum adat, juga pandangan Sosiological Jurisprudence, karena lembaga dan proses merupakan cerminan dari living law, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis yang hidup (fromal).
            Hukum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Kaidah dan asas merupakan kaidah (hukum) yang kemudian ditarik menjadi asas. Hal ini erat kaitannya dengan yurisprudensi, karena setelah putusan tersebut dibuat/ditarik asas sebagai sumber hukum/patokan untuk hakim yang akan datang. Mewujudkan berlakunya hukum dalam kenyataan, menggambarkan pengertian yang lebih luas, yaitu sumber hukum (formal) tertulis dan tidak tertulis.
            Dalam pembinaan hukum perlu diperhatikan perbedaan antara hukum yang bersifat sensitif dan hukum yang bersifat netral. Diusahakan untuk mendahulukan hukum yang bersifat netral, sedangkan yang bersifat sensitif dibiarkan lebih dahulu untuk diatur kemudian. Hukum yang bersifat sensitif adalah hukum yang menyangkut bidang-bidang budaya dan keyakinan masyarakat, seperti: Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Hukum Harta Perkawinan, dan Hukum Waris. Sedangkan yang dimaksud sebagai hukum yang bersifat netral, yaitu semua hukum (yang bukan bersifat sensitif) termasuk yang berkaitan dengan misalnya ketentuan-ketentuan hukum tentang AFTA, APEC, dan WTO. Juga termasuk di dalamnya sistem hukum negara-negara komunis, asal tidak bertentangan dengan idiologi negara, yaitu Pancasila.

A.    Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala  hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat pokok (fundamental) bagi adanya  suatu masyarakat manusia yang teratur. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya rasa keadilan  yang berbada-beda isi dan ukurannya,  menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat.
Adanya hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti  bahwa pergaulan antaramanusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini, terdapat jalinan hubungan yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah sosial lainnya itu.
Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Hal ini sesuai dengan slogan bahwa: Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kedzaliman. Kekuasaan merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam arti masyarakat yang di atur oleh dan berdasarkan hukum.
Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan  pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat itu.
Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyaakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif. Artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu.

B.     Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional
Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan. Semua masyarakat yang membangun dicirikan oleh perubahan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari kedua-duanya. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata.
Menurut Tasrif, terutama dalam negara yang sedang berkembang yang kebanyakan atau hampir semua adalah negara-negara bekas jajahan yang mewarisi perundang-undangan kolonial, pembinaan  hukum melalui perundang-undangan baru memegang peranan yang sangat penting. Lebih lanjut Tasrif mengemukakan untuk mewujudkan cita-cita tegaknya Rule of Law di negara kita itu hendaknya terutama para pejabat tidak dilupakan, bahwa konsep itu menurut R. Ramani setidak-tidaknya harus mencakup tiga pengertian:
1.      Setiap orang tanpa membedakan kedudukannya  harus tunduk kepada undang-undang yang berlaku dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka pengadilan biasa;
2.      Hukum harus berdasarkan moral dan adalah keadilan bukannya kekuasaan yang harus menjadi dasar sejati dari suatu masyarakat, baik nasional maupun internasional;
3.      Kekuasaan pemerintah janganlah hendaknya digunakan tanpa pembenaran (justification) yang dapat diterima untuk mengurangi atau menyingkirkan hak-hak individu, kecuali apabila tindakan-tindakan pemerintah itu terpaksa dilakukan demi kepentingan umum, sedangkan intervensi pemerintah sedemikian harus didasarkan kepada kaidah-kaidah dan norma-norma objektif yang di dalam setiap keadaan dapat diselidiki dan diuji ada atau tidak ada keharusannya oleh kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala pengaruh.
Kesukaran-kesukaran yang dihadapi dalam mengembangkan hukum sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat yang dijalankan secara berencana dan dapat diperhitungkan, digolongkan dalam tiga sebab kesulitan sebagai berikut:
1.      Sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum (pembaharuan)
2.      Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif
3.      Sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum.
Apabila kita mendekati pembinaan hukum nasional secara menyeluruh sebagai bagian dari pembangunan nasional, kiranya kita menetapkan tiga kelompok masalah (problem areas), yang intinya yakni:
1.      Inventarisasi dan dokumentasi hukum yang berlaku.
2.      Media dan personal (unsur manusia).
3.      Perkembangan hukum nasional.

C.    Pembaharuan Pendidikan Hukum dan Pembinaan Profesi
Pembaharuan pendidikan hukum nasional dalam arti luas adalah re-orientasi yang dihubungkan dengan kebutuhan Indonesia sebagai masyarakat dalam pembangunan. Pembaharuan pendidikan hukum di Indonesia sebagai negara merdeka yang sedang berkembang tidak hanya berarti perbaikan mutu pendidikan saja melainkan terutama persoalan penentuan arah atau orientasi baru dari pendidikan.
Pembaharuan kurikulum merupakan salah satu hal yang urgen untuk dilakukan dalam rangka pembaharuan pendidikan hukum. Kurikulum Minimum Fakultas Hukum apabila ditelaah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menetapkan syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi kurikulum suatu Fakultas Hukum;
2.      Menetapkan uniformasi antara kurikulum-kurikulum Fakultas Hukum dalam batas Minimum Kurikulum, tanpa menutup kemungkinan variasi dari tempat ke tempat sesuai dengan keadaan dan kemampuan;
3.      Mengadakan suatu permulaan spesialisasi tanpa meninggalkan adanya suatu pendidikan dasar yang bersifat umum sampai di tahun keempat;
4.      Membuka kemungkinan bagi cara pendekatan multi dan interdisipliner dengan adanya mata-mata pelajaran pilihan yang tidak usah diikuti pada Fakultas Hukum saja.
Upaya lain dalam pembaharuan pendidikan hukum adalah pendidikan klinis hukum, yang bermaksud mengajarkan beberapa keterampilan teknik hukum yang akan dibutuhkan oleh calon penuntut umum, hakim dan pengacara bila terjun ke  masyarakat setelah lulus dari Fakultas Hukum, merupakan suatu segi yang harus diperhatikan apabila tujuan pendidikan hukum untuk kebutuhan negara merdeka yang sedang berkembang hendak mempunyai arti. Hal ini karena tanpa keterampilan-keterampilan teknis (legal skill), tujuan yang hendak dicapai dengan pendidikan yang hendak diperbaharui itu tidak akan dapat dirasakan manfaatnya dalam kenyataan.
Pendidikan klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, melainkan juga harus menghadapkan mahasiswa pada kondisi yang akan dijumpainya dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan atau sikap terhadap suatu masalah yang dapat disebut suatu problem solving attitude.
Pendidikan keterampilan teknis di bidang hukum yang mengabaikan segi yang menyangkut tanggung jawab seseorang terhadap orang yang dipercayakan kepadanya dan profesinya pada umumnya serta nilai-nilai dan ukuran etika yang harus menjadi pedoman dalam menjalankan profesinya hanya akan menghasilkan tukang-tukang yang terampil belaka di bidang hukum dan profesinya.
Keadaan demikian tidak saja menjadikan pendidikan klinis itu tidak lengkap karena calon anggota profesi itu tidak tahu bagaimana ia harus menggunakan keterampilan teknis yang diperolehnya itu. Bahkan, tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa pendidikan keterampilan teknis tanpa disertai pendidikan tanggung jawab profesional dan etika adalah berbahaya.
Etika hukum baik yang umum, maupun yang bersifat khusus berupa professional ethic merupakan bentuk penuangan konkret dari aturan-aturan etika, noral, dan agama. Pendidikan etika hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses pembentukan watak atau pribadi yang baik yang diperlukan bagi penerapan hukum yang baik dalam segala bentuknya.

D.    Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional
Pemikiran tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat tergantung kepada konservatif atau tidaknya golongan yang berkuasa. Negara-negara otokratis yang dikuasai oleh golongan yang eksklusif cenderung untuk menolak perubahan. Karena itu, akan cenderung pada pemikiran tentang hukum yang konservatif. Negara-negara maju yang telah mencapai keseimbangan dalam kehidupan politik, ekonomi dan kemasyarakatan juga akan cenderung untuk konservatif dalam pemikirannya tentang hukum.
Di negara-negara yang baru merdeka yang sedang berkembang paling tidak ada dua faktor yang akan mendesak diambilnya sikap yang progresif tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat yakni: keinginan untuk menghapuskan peninggalan kolonial secepat-cepatnya, dan harapan yang ditimbulkan pada masyarakat dengan tercapainya kemerdekaan. Oleh karena itu, kiranya wajar kita menggantikan pemikiran hukum yang konservatif yang diwariskan pemerintah dan sistem pendidikan kolonial dengan suatu pemikiran hukum yang lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun.
Dalam masyarakat yang sedang membangun hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban  dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.
Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Perkembangan di negara-negara berkembang yang memiliki rezim otokrasi yang tidak terlalu memperhatikan atau mempergunakan hukum sebagai sarana pengatur masyarakat, selalu dihadapkan pada dilema ini, yaitu di satu pihak bagaimana memelihara ‘elan (semangat) revolusi, di satu pihak, tanpa mengorbankan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai, atau sebaliknya.
Karena baik perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Untuk itu mekanisme pelaksanaan konsep hukum sebagai sarana pembangunan perlu memperhatikan alur proses penyusunan perundang-undangan, yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1.      Tahap persiapan dan perancangan yang diawali atau dimulai dari lahirnya prakarsa atau inisiatif.
2.      Tahap pembahasan atau pembicaraan guna mendapat persetujuan dari lembaga yang berwenang.
3.      Tahap penetapan atau pengesahan.
4.      Tahap pengundangan atau pengumuman agar peraturan tersebut diketahui dan ditaati oleh seluruh warga negara.

E.     Pengambilan Kekayaan Alam di Dasar Laut dan Tanah di Bawahnya (Seabed and Subsoil) dan Hukum Internasional
Mengingat pentingnya minyak bumi sebagai penghasil devisa, kita harus berusaha mempertahankan kalau tidak memperbesar bagian kita dalam pasaran minyak dunia di samping memenuhi kebutuhan dalam negara yang terus meningkat. Di samping minyak, gas bumi dewasa ini merupakan suatu sumber kekayaan yang penting berkat kemajuan teknologi perminyakan.
Berkurangnya cadangan minyak bumi dari sumber-sumber yang sedang digali di darat, mendorong orang terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II untuk mencari minyak bumi di bawah dasar laut, walaupun ongkos eksplorasi dan eksploitasinya jauh lebih mahal yaitu antara dua sampai sepuluh kali lipat ongkos produksi minyak dari sumber di darat.
Eksplorasi dan eksploitasi sepanjang terletak dalam batas-batas wilayah perairan Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 4 tahun 1960, pemberi izin itu didasarkan atas hak negara yang meliputi segala kekayaan alam yang terdapat di bumi, termasuk perairan wilayah dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Di luar batas-batas wilayahnya, hak atas kekayaan alam yang terdapat pada dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil) didasarkan atas konsep continental shelf.
Pengertian continental shelf yang mula-mula digunakan dalam Proklamasi Truman di tahun 1945, telah berkembang menjadi suatu pengertian hukum yang sama namanya, tetapi berlainan isinya, walaupun dasar hak suatu negara atas daerah bawah permukaan laut yang berbatasan dengan pantainya tetap sama, yakni asas kedekatan atau contiguity. Untuk membedakan dua pengertian yang berlainan isinya itu, dalam bahasa Indonesia kita gunakan dataran kontinen untuk pengertian continental shelf dalam arti geologis, sedangkan pengertian hukum yang kemudian berkembang dinamakan landas kontinen.
Pasal 2 ayat (1) Konvensi Jenewa tahun 1958 mengenai Landas Kontinen menyatakan bahwa negara pantai memiliki “hak-hak kedaulatan untuk melakukan eksplorasi di landas kontinen dan menggali kekayaan alam yang terdapat di dalamnya”. Perumusan ini merupakan kompromi antara pendirian pihak yang menghendaki pengakuan kedaulatan penuh negara pantai atas landas kontinen, dengan pihak yang hanya mengakui hak-hak yang lebih terbatas. Selanjutnya bahwa “hak-hak kedaulatan untuk ekplorasi dan eksploitasi” tidak sama dengan hak kedaulatan penuh negara pantai.
Indonesia mempunyai hak eksklusif untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen yang berbatasan dengan pantainya. Hal ini didasarkan atas hukum kebiasaan internasional yang telah tumbuh dan berkembang berdasarkan praktik negara bertalian dengan continental shelf tahun 1958 yang dapat diangap sebagai kodifikasi dari hukum yang berlaku di bidang ini.

F.     IMCO dan Pembinaan Hukum Pelayaran Nasional
IMCO (Intergovernmental Maritime Cosultative Organization) merupakan badan khusus PBB yang mengurus bidang maritim didirikan di Jenewa pada tahun 1948 dengan diterimanya suatu konvensi tentang didirikannya IMCO oleh United Nation Maritime Conference di Jenewa.
Tujuan utama dari IMCO adalah memajukan kerja sama antara negara-negara anggota dalam masalah-masalah teknis di bidang pelayaran, dengan perhatian khusus tentang keselamatan di laut dan untuk menjamin tercapainya taraf keselamatan serta efisiensi pelayaran setinggi-tingginya. Adapun kegiatan IMCO secara garis besarnya meliputi antara lain:
1.      Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan keselamatan maritim dan efisiensi pelayaran;
2.      Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan dan pengawasan pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kapal-kapal, serta masalah-masalah yang berhubungan dengan hal itu;
3.      Kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan perkapalan serta kegiatan-kegiatan laut yang berhubungan dengan itu khususnya mengenai bantuan di bidang teknis kepada negara-negara berkembang.
Kewajiban suatu negara pantai untuk memelihara perambuan dan sistem navigational aids lainya dalam keadaan baik sebagai syarat untuk tidak hilangnya hak negara pantai mendapat ganti kerugian, hendaknya menjadi pendorong hambatan bagi kita uantuk segera memberikan perhatian dan prioritas sebesar-besarnya kepada masalah ini. Perairan Indonesia sudah terkenal di kalangan pelayaran internasional sebagai suatu red zone, daerah bahaya, karena perambuan, mercusuar, pemetaan laut dan pemberian tanda-tanda bahaya, bagi navigasi berada pada taraf dekat tingkat minimal. Keadaan ini tidak membantu kelancaran hubungan internasional di perairan kita dan sudah barang tentu mempunyai pengaruh buruk terhadap kedudukan bersaing (competitive position) barang-barang ekspor kita. 

G.    Pemantapan Citra Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang
Dalam negara hukum, kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada hukum. Secara populer dikatakan bahwa negara hukum adalah negara berdasarkan hukum, dan kekuasaan harus tunduk pada hukum. Di negara hukum semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum. Ini berarti bahwa hukum memperlakukan semua orang sama tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama, kedudukan sosial dan kekayaan.
Sebagai negara hukum, dalam membangun hukum nasional perlu diutamakan  asas-asas yang umum diterima bangsa-bangsa tanpa meninggalkan asas-asas hukum asli atau hukum adat yang masih berlaku dan relevan dengan kehidupan dunia modern. Sangat penting pula secara politis bahwa perlu dipertahankan asas-asas yang merupakan pencerminan dari tekad dan aspirasi sebagai bangsa yang mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan. Di antara asas-asas hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Asas Kesatuan dan Persatuan atau Kebangsaan mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum nasional berfungsi mempersatukan bangsa Indonesia.
2.      Asas Ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama.
3.      Asas Demokrasi mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
4.      Asas Keadilan Sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.