RESUME
“HUKUM ACARA PERDATA”
Dosen :
Banan Sarkosih, S.Pd, M.Pd.
Di Susun Oleh :
Agus
Syahryal
NPM :
01020201090161
PENDIDIKAN
PANCASILA KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
Kampus : Jl. Pasir Gede Raya Telp.
(0263) 270106 – 268672 Cianjur 43216
(M. Nur Rasaid, S.H.)
RESUME
BAB
I
PENGERTIAN
, SIFAT DAN SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
A. Pengertian Hukum Acara Perdata
Menurut Dr. Sudikno
Mertokusumo , S, H Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaiman cara nya menjamin hukum perdaat materiil dengan perantaraan Hakim.
Dapat dismpulkan bahwa
hukum acara perdata adlah rangkaian peraaturan yang membuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap Pengadilan dan carra bagaimana Pengadialn itu
harus bertindak , satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.
Adapun objek dari ilmu
pengetahuan hukum perdata adalah Keselluruhan peraturan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan
perantaraan kekuasaan negara. Maksud dari perantaraan negara adalah dengan
melalui badan atau lembaga peradilan , yaitu suatu baadan yang bebas dari
pengaruh siapapun atau bagi semua pihak yang bertujuan mencegah
eigenrichting (Main Hakim Sendiri).
B. Sifat Hukum Acara Perdata
Ketentuan Pengajuan
Awal terjadinya proses
peradilan yang berasal dari pengajuan yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan, sedangkan hakim hanya menunggu datangnya ajuan tuntutan akan
hak seseorang yang berkepentingan, maksudnya pengadilan tidak dapat memerintah,
meminta maupun memaksa seseorang untuk mengajukan perkara.
Ketentuan tersebut berbeda dengan acara
hukum pidana yanag tidak mengagantungkan adanyan pengajuan dari korban yang
dirugikan. Seperti halnya tindakan poplisi sebagai penegak hukum untuk mencari
dan mengajukan orang-orang yang telah melakukan pelanggaran atau kejahatan
terkecuali kejahatan pelanggaran atau kejahatan yang hanya bisa dijerat dengan
adnya aduan daari pihak korban seprti halnya perbuatan zina yang merupakan
delik aduan.
Bentuk
1.
Tertulis (termuat dalam sebagian
Undang-undang)
2.
Tidak tertulis (menurut adat kebiasaan
yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara)
Dalam hukum acara
perkara perdata hakim tidak boleh menolak untukk memeriksa dan mengadili
perkara tersebut dengan alasan bahwa hukum tidak jelas atau kurang jelas. Hal
ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 “
Pengadilan tidak boleh menolak untuk menoak untuk memriksa sesuatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas , melainkan untuk
memriksa dan mengadilinya”
Seandainya tidak ditemukan hukum
tertulis maka hakim wajib menggali , mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan dalam
Pasal 27 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 “Hakim sebagai penegak hukum dan
keadilanwajib menggali , mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat”.
C. SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
Hingga masa sekarang
ini kita masih belum mempunyai hukum acara perdata Nasional yang dirancang
secara khusus , hukum acara perdata kita sekarang dapat dianggap belum teratur
secara sistematis (terpencar).
Berdasarkan Ketentuan
yang termuat dalam pasal 5 Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka hukum
acara perdata yang berlaku di negara kita yaitu yang termuat dalam :
Het Herienze Indonesich reglement (HIR
yang diperbarui, S.1848 No. 44) untuk daerah Jawa dan madura. Sekarang sering
digunakan.
Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg./
Reglemen Daerah Seberang, s.1927No.227) untuk daerah di luar Jawa dan Madura.
Selain itu sumber huku perdata antara
lain:
·
RV (Reglement of de Bburgelijke Rechtsvordering).
Tapi ketentuan ini sekarang sudah berlaku lagi, kecuali apabila benar-benar
dirasa perlu dalam praktek peradilan.
·
RO (Reglement of de Reccchterlijke
Organisatie in Het beleid der Justitie in Indonesia/ Reglemen tentang
Organisasi Kehakiman S. 1847 No.23 )
·
BW Buku IV , dan selebihnya yang
terdapat tersebar dalam BW dan Peraturan Kepailitan.
·
UU Nomor 14 Tahun 1970, Tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
·
UU No. 20 tahun 1947 Tentang Ketentuan
Banding untuk Daerah Jawa dan Madura.
·
Yurisprudensi, contohnya adlah putusan
MA tanggal 14 April 1971 No.99 K/Sip/1971, yang menyeragamkan hukum acaara
dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW.
·
Adat Kebiasaan yang dianut oleh para
Hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata.
·
Perjanjian Internasionalcontohnyaa yaitu
perjanjian kerjasama di bidang pengadialan antara Republik Indonesia dengan
Kerajaan Thailand (KEPRES No.6 Tahun 1978) yang isinya antara lain memuat
tentang adanya kesepakatan menagadakan kerjasama dalam menyampaikan dokumen
pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam hal perkara.
·
Perkara Hukum Perdata dan Dagang
·
Dotrin atau ilmu pengetahuan , sebagai
sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata
·
Surat edaran Mahkamah Agung (SEMA)
sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata Materiil.
Tetapi tentang dooktrin
dan surat edaran bukanlah hukum melainkan sumber hukum tempat kita dapat
menggali hukum . Jadi terhadap doktrin dan surat edaran ini Hakim tidaklah
terikat seperti terhadap sumber yang lainnya.
RESUME
BAB
II
PIHAK
YANG BERPEKARA
A. Pihak Yang Berpekara
Setiap orang berhak
untuk berpekara di depan Pengadilan kecuali orang yang belum dewwasa atau
amnesia (sakit ingatan). Bagi orang yang belum dewsa harus diwakili
orang tuanya dan bagi yang sakit ingatan diwakili pengampunya. Suatu badan
hukum boleh menjadi pihak dalam suatu perkara , dan yang bertindak untuk dan
atas nama badan hukum adalah Direkturnya. Adapun negra diwakili oleh salah satu
departemen yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi , misalnya
Departemen Dalam Negeri , maka biasanya yang akan menghadapi dalam
persidangan yang mewakili negara adalah Kepala Bagian Hukum darri
Departemen yang berskutan dengan membawa suatu surat kuasa khusus dari Menteri.
Pihak yang bersengketa
dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Penggugat
Orang
yang merasa bahwa haknya telah dilanggar
2.
Tergugat
Orang yang
ditarik ke muka persidangan kaarena ia dianggaap atau dirasa
melanggar hak seseorang, karena belum tentu hak oran yang terlanggar haknya
benaar-benaar telah dilanggr haknya.
Adapun mengenai wakil
yang mewakili seseorang harus mempunyai surat kuasa khusus yang dibuat dibaawah
tangan ataupun secara autentik di hadapan Notaris yang memuat kalimat
“Surat kuasa ini diberikan dengan hak Subtitusi (menggantikan)”. Apabila
dalam surat kuasa tersebut tawk tercantum maka danm kemudian ternyata
dilimpahkan kepada orang lain maka pelimpahan ini tak sah (alias batal).
Tentang penunjukan
seseorang untuk menjadi wakil salah satu pihak dalam bertindak di muka
Pengadilan ini di negara kita sekarang ini bukanlah merupakan suatu keharusan .
Dengan demikian pada waktu sekarang keadaannya ialah bahwa seseoorang yang
berperkara di muka pengadilan leluasa untuk diwakili oleh orang lain atau
tidak, dan yang dapat menjadi wakil adalah setiap orang.
Hal tersebut berbeda
dengan keadaan zaman Belanda , di mana untuk Hoggerechshaf dan Raad Van
Justitie para pihak yang berperkara diwajibkan mewakilkan kepada seorang ahli
hukum yang telah mendapatkan izin dari pemerintah untuk menjadi Procureur
(pokrol). Kewajiban mewakilkan ini bagi penggugar dinyatakan dalam pasal 106
ayat 1 B.Rv, dan bagi tergugat dalam pasal 109 R.Bv.
Ada tiga alasan mengapa ketentuan
tersebut belum dapat diterapkan dalam negara Indonesia sekarang ini :
1)
Bahwa para ahli hukum yang menjadi wakil
pihak yang berperkara tentunya harus mendapat upah yang biasanya tidak rendah.
Sehingga akibatnya maka pembuatan perkara akan menjadi mahal, dan hal ini
bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970 yang isinya “Peradilan
dilakukan dengan sederhana , cepat , dan biaya ringan”
2)
Bahwa negara Indonesia pada waktu
sekarang ini masih kekurangan tenaga ahli hukum, yang dapat melayani pembelaan
semua peerkara perdata di seluruh Indonesia .
3)
Selalu adanya awakil daari pihak-pihak
yang berperkara , hakim tidak dapat berhadapan langsung dengan orang yang
berkepentingan sendiri. Sehingga hakim tak dapat membaca keinginan orang
tersebut secara menyeluruh.
Pihak
yang berperkara dibedakan menjadi
1)
Partij Materiil
Pihak
yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan atau
subyek dari hubungan yang dipersengketakan.
2)
Partij Formil
Pihak yang
berrtindak untuk kepentingan orang lain . Contoh : wali yang bertindak atas
nama anak yang belum dewasa.
Sedangkan orang yang
mempunyai perkara menghadap sendiri ke persidangan.
B. Turut Sertanya Pihak Ketiga Dalam
Suatu Perkara
Adakalanya terdapat
pihak ketiga yang ada dalam suatu perkara yaitu penggugat , tergugat, dan pihak
ketiga. Hal ini terjadi karena pihak ketiga turut campur dalam perkara
ketika penggugat dan tergugat sedang berperkara dalam persidangan. Dan
keturutsertaan pihak ketiga disebut Interventie.Meski dalam HIR dan R. Bg. Tak
disinggung namun tidak berarti keturutsertaannya tak diperkenankan. Dan
proses persidangan dengan adanya opihak ketiga harus dilakukan berdasarkan
hukum acara yang tidak tertulis , dengan alasan bahwa pelaksanaan
kewajiban dan hak dalam hukum perdata dilakukan dengan tepat , maka sudah
selayaknya dianggap sah.
Keturutsertaan tersebut
dapat dibagi menjadi:
1.
Tussenkomst, Turut sertanya pihak
ketiga ke dalam suatu proses untuk membela kepentingannya sendiri.
Contoh
: A dan B bersengketa atas kepemilikan sesuatu dan C turut campur untuk
menyatakan bahwa sesuatu tersebut adalah miliknya.
2.
Voeging, Turut sertanya pihak ketiga
dalam suatu proses untuk membela salah satu pihak.
Contoh
: A dan B menanggung renteng berutang kepada C . B digugat oleh C kemudian A
membantu pihak B.
3.
Vrijawaring , Turut sertanya pihak
ketiga dalam suatu proses dengan maksud untuk membela salah satu pihak.
Contoh : A
meminjam uang B dengan jaminan C , kalau C digugat B, C menarik A
supaya dapat bebas dari akibat buruk suatu keputusan baginya oleh hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar