HAM DAN PENEGAKKAN
HUKUM
(Hendra Prijatna, M.Pd)
RESUME BAB I
HAK ASASI MANUSIA
- Hakekat HAM
Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang
paling mulia, dan mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, mempunyai budi
dan karsa yang merdeka sendiri. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat
dan derajat yang sama, dan memiliki hak-hak yang sama pula. Derajat manusia
yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Dengan demikian semua
manusia bebas mengembangkan dirinya sesuai dengan budinya yang sehat.
Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, semua
manusia memiliki hak-hak yang sama sebagai manusia. Hak-hak yang sama sebagai
manusia inilah yang sering disebut hak asasi manusia. Hak asasi manusia berarti
hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, maksudnya hak-hak yang
dimiliki manusia sebagai manusia. Hak asasi manusia (HAM) adalah hakhak dasar
yang dimiliki manusia sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat
diganggu gugat oleh siapapun.
Dengan mendasarkan pada pengertian HAM di
atas, maka HAM memiliki landasan utama, yaitu:
- Landasan langsung yang pertama,
yaitu kodrat manusia;
- Landasan kedua yang lebih dalam,
yaitu Tuhan yang menciptakan manusia.
Jadi HAM pada hakekatnya merupakan hak-hak
fundamental yang melekat pada kodrat manusia sendiri , yaitu hak-hak yang
paling dasar dari aspek-aspek kodrat manusia sebagai manusia. Setiap manusia
adalah ciptaan yang luhur dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia harus dapat
mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus berkembang secara
leluasa. Pengembangan diri sebagai manusia dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sebagai
asal dan tujuan hidup manusia. Semua hak yang berakar dalam kodratnya sebagai
manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Dengan demikian hak-hak ini adalah universal atau berlaku di manapun di dunia ini. Di mana ada manusia
di situ ada HAM dan harus dijunjung tinggi
oleh siapapun tanpa kecuali. HAM tidak
tergantung dari pengakuan orang lain, tidak tergantung dari pengakuan mesyarakat
atau negara.
Manusia memperoleh hak-hak asasi itu langsung dari
Tuhan sendiri karena kodratnya.(secundum
suam naturam) Penindasan terhadap HAM
bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan,
sebab prinsip dasar keadilan dan kemanusiaan
adalah bahwa semua manusia memiliki martabat
yang sama dengan hak-hak dan kewajibankewajiban yang
sama. Oleh karenanya, setiap manusia dan setiap negara di dunia wajib mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM)
tanpa kecuali. Penindasan terhadap HAM berarti
pelanggaran terhadap HAM.
Pengakuan oleh orang-orang lain maupun oleh Negara ataupun agama tidaklah membuat adanya HAM itu. Demikian pula orang-orang lain, negara dan agama
tidaklah dapat menghilangkan atau menghapuskan
adanya HAM. Setiap manusia, setiap negara di
manapun, kapanpun wajib mengakui dan
menjunjung tinggi HAM sebagai hak-hak
fundamental atau hak-hak dasar. Penindasan terhadap
HAM adalah bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan.
Untuk mempertegas hakekat dan pengertian HAM di atas dikuatkanlah dengan landasan hukum HAM sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
B. Sosial
dalam Lahirnya HAM
Hak asasi bisa dimengerti sebagai hak paling mendasar
dan dimiliki oleh setiap manusia. Hak ini tidak diperoleh dari kelompok sosial
maupun dari institusi yang lebih tinggi, tetapi built in dalam
kehadirannya sebagai manusia. Asumsi mendasar hak asasi adalah bahwa manusia
dilahirkan dengan hak sama, bebas, dan merdeka. Kendati rumusannya begitu
sederhana, Saafroedin Bahar menunjukkan dalam Konteks Kenegaraan Hak Asasi
Manusia (2002), betapa kompleks permasalahan HAM di setiap negara.
Kompleksitas itu karena adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia bersifat
majemuk. Kendati begitu, sekurang-kurangnya, dia berhasil menggolongkan
permasalahan HAM dalam enam bidang, yakni (1) permasalahan filsafat dan
ideologi, (2) agama dan keimanan, (3) politik dan hukum, (4) sosial-budya , (5)
Sosial-ekonomi, dan (4) keamanan.
Berdasarkan konteks filsafat dan ideologi,
problematika HAM di Indonesia telah dirumuskan dalam bentuk kesepakatan
nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No 39 tahun 1999 yang pada intinya
masing-masing komponen bangsa sepakat menjunjung hak dasar manusia. Dengan
asumsi adanya hak dasar itu, Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan
martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak sasasi manusia,
karena tanpa hak tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya,
sehingga dapat mendorong menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini
lupus) (Bahar, 2002: 127).
Hak mendasar adalah penghormatan harkat dan martabat
manusia sedangkan pelanggaran terhadap hak itu cenderung mengarah pada
kesewenang-wenangan. Penghormatan itu secara normatif, selain telah
didefinisikan dalam UU sebelumnya, juga ditandaskan sekali lagi dengan adanya
Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Implementasi HAM dalam
praktik kehidupan sehari-hari di Indonesia bisa dilihat dari uraian Kaelan MS
dalam bukunya, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (2002).
Menurutnya, rumusan praksis HAM bisa ditemukan dalam Pancasila karena Pancasila
adalah dasar negara dan negara pada hakikatnya adalah lembaga persekutuan hidup
bersama yang unsur-unsurnya adalah manusia dan demi tujuan harkat dan martabat
manusia (2002: 141) . Konsepsi HAM ini merupakan dasar etis dalam kehidupan
berbangsa.
Ciri HAM yang paling utama adalah hak untuk bebas,
demikian diungkapkan oleh Erich Fromm dalam Escape from Freedom (1968:
47). Semua manusia ditakdirkan untuk bebas. Kendati semua manusia lahir dalam
kondisi bebas, praktis kebebasan manusia bukannya tidak terbatas. Mereka
terbatas oleh kebebasan manusia lain. Dengan begitu, Fromm menyimpulkan,
kebebasan itu sebetulnya bukan kebebasan murni yang bebas dari tekanan apa pun,
termasuk otorianisme, kediktatoran, tekanan kejiwaan, serta kekuasaankekuasaan
yang siap mengancam kebebasan tiap individu.
Karena itu, kebebasan dalam arti sebebas-bebasnya
tidaklah mungkin karena orang lain boleh dikatakan membatasi kebebasan yang
dimiliki manusia di sisinya. Kendati begitu, pernyataan kebebasan itu
pertama-tama telah diumumkan sebagai kesepakatan dalam Pernyataan Umum tentang
Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Pada pasal
pertama, diumumkan dengan sangat jelas:
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat
dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya
bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan . Kalimat pertama adalah
kesepakatan kondisi manusia yang ditakdirkan merdeka dan bermartabat .
Rasionalitas yang digunakan, bahwa di dalam diri manusia terkandung nalar dan
hati. Dua hal itu tidak dimiliki oleh makhluk lain kecuali manusia.
Kondisi yang mendasar ini langsung diteruskan tuntutan
dalam kalimat selanjutnya. Karena sama-sama memiliki kebebasan, maka setiap
orang dituntut untuk menjalin persaudaraan. Jalinan itu bukan untuk
menghilangkan kebebasan, tetapi sebaliknya, meneguhkan kebebasan yang melekat
di dalam dirinya (1948: 85).
Kondisi dasar manusia dan tuntutan yang melekat dalam
kondisi dasar itu menjadi konvensi yang bisa dijadikan pegangan untuk semua
manusia. Pegangan itu kemudian ditutup dengan kalimat dalam pasal 30: Tak satu
pun hal dari pernyataan ini yang boleh ditafsirkan sebagai pemberian hak kepada
negara, kelompok ataupun seseorang, untuk terlibat dalam kegiaan apa pun atau
melakukan perbuatan yang bertujuan untuk merusak hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Pernyataan ini .
Kalimat penutup atas sebuah konvensi ini sebetulnya
berisi rambu-rambu larangan yang diumumkan bagi kelangsungan hak asasi
selanjutnya. Rambu ini dilakukan untuk menegaskan adanya kemerdekaan itu. Kata
lain yang bisa ditulis, kemerdekaan Anda adalah kondisi mendasar Anda, tetapi
dengan berbekal kondisi itu Anda diharapkan untuk menjalin persaudaraan dengan
orang lain. Jalinan persaudaraan itu dilandasi penghargaan atas kebebasan orang
lain, dan bukan sebaliknya. Karena itu, dengan alas an apa pun Anda dilarang
untuk merampas kebebasan orang lain.
- Hukum dan Kelembagaan HAM
1.
Beberapa Ketentuan Hukum atau Instrumen HAM
John Locke, pemikir politik dari Inggris,
menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak–hak alamiah yang
tidak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak
kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan. Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai
konsep HAM yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan HAM di berbagai
belahan dunia.
Pengakuan hak asasi manusia (HAM) secara konstitusional
ditetapkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1776 dengan “Unanimous
Declaration of Independence”, dan hal ini dijadikan contoh bagi majelis nasional
Perancis ketika menerima deklarasi hak-hak manusia dan warga negara (Declaration
des Droits de l’homme et de Citoyen) 26 Agustus 1789. Badan dunia
yaitu PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga memperkenalkan pengertian hak asasi
manusia yang bisa kita dapatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Right / UDHR). Deklarasi Universal merupakan
pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan manusia yang harus ada
pada pengertian hak asasi manusia
Dalam UDHR pengertian HAM dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan
hak–hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota
keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia.
Sejak munculnya Deklarasi Universal HAM itulah secara internasional HAM telah diatur dalam
ketentuan hukum sebagai instrumen
internasional. Ketentuan hukum HAM atau
disebut juga Instrumen HAM merupakan alat yang
berupa peraturan perundang- undangan yang
digunakan dalam menjamin perlindungan dan
penegakan HAM. Instrumen HAM terdiri atas instrumen
nasional HAM dan instrumen internasional HAM.
Instrumen nasional HAM berlaku terbatas pada suatu
negara sedangkan instrumen internasional HAM menjadi
acuan negara–negara di dunia dan mengikat secara
hukum bagi negara yang telah mengesahkannya (meratifikasi).
Di negara kita dalam era reformasi sekarang ini, upaya untuk menjabarkan ketentuan hak asasi manusia telah dilakukan melalui amandemen UUD 1945 dan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta meratifikasi beberapa konvensi internasional
tentang HAM.
- Undang Undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, ada Bab yang secara
eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia yaitu Bab XA yang bersikan
pasal 28A s/d 28J. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 jaminan HAM lebih terinci
lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan Pasal-pasal yang dikandungnya
relatif banyak yaitu terdiri atas XI bab dan 106 pasal. Apabila dicermati
jaminan HAM dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999, secara
garis besar meliputi :
1)
Hak
untuk hidup (misalnya hak: mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan lahir
batin, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat);
2)
Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3)
Hak
mengembangkan diri (misalnya hak : pemenuhan kebutuhan dasar,meningkatkan
kualitas hidup, memperoleh manfaat dari iptek, memperoleh informasi, melakukan
pekerjaan sosial);
4)
Hak
memperoleh keadilan (misalnya hak : kepastian hukum, persamaan di depan hukum);
5)
Hak
atas kebebasan pribadi (misalnya hak : memeluk agama, keyakinan politik,
memilih status kewarganegaraan, berpendapat dan menyebarluaskannya, mendirikan
parpol, LSM dan organisasi lain, bebas bergerak dan bertempat tinggal);
6)
Hak
atas rasa aman (misalnya hak : memperoleh suaka politik, perlindungan terhadap
ancaman ketakutan, melakukan hubungan komunikasi, perlindungan terhadap
penyiksaan, penghilangan dengan paksa dan penghilangan nyawa);
7)
Hak
atas kesejahteraan (misalnya hak : milik pribadi dan kolektif, memperoleh
pekerjaan yang layak, mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak,
kehidupan yang layak, dan jaminan sosial);
8)
Hak
turut serta dalam pemerintahan (misalnya hak: memilih dan dipilih dalam pemilu,
partisipasi langsung dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan pemerintah,
mengajukan usulan kepada pemerintah);
9)
Hak
wanita (hak yang sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang
politik, pekerjaan, status kewarganegaraan, keluarga perkawinan);
10)
Hak
anak (misalnya hak : perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan
negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak
cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan sexual,
perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya).
- Undang Undang RI
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi
Wanita).
Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala
bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki –
perempuan) harus dihapus. Misalnya, perlakuan pemberian upah buruh wanita
dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula dunia politik bukanlah milik
pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki posisi dalam
partai politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi perbedaan
penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya tetapi karena
perbedaan pada prestasi.
Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara,
kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum
wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria. Kita tidak dapat menyangkal
besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak
. Hal ini menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara pria dan
wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar diskriminasi.
- Undang-Undang RI
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang ini,
sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum undang-undang ini antara lain:
1)
Bahwa
anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus
kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan
bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
2)
Meskipun
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan
tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak
masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai
landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan
demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan
pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
3)
Orang
tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara
hakasasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah
bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama
dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
4)
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hakhak anak. Rangkaian
kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan
perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini
dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan
sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang
dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga
kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
5)
Upaya
perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak
dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif,
undangundang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
a.
Nondiskriminasi;
b.
Kepentingan
yang terbaik bagi anak
c.
Hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.
Penghargaan
terhadap pendapat anak.
6)
Dalam
melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha,
media massa, atau lembaga pendidikan.
- Undang Undang RI
Nomor 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia (Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment).
Konvensi ini mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik
maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi,
atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari
atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak
dalam jabatannya. Ini berarti negara RI yang telah meratifikasi wajib mengambil
langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah efektif
lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam wilayah
yuridiksinya. Misalnya langkah yang dilakukan dengan memperbaiki cara
interograsi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik
lain yang bertanggungjawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya.
- Undang Undang RI Nomor
1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 Mengenai
Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–Bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak.
Menurut Konvensi ILO (International Labour Organization/Organisasi
Buruh Internasional) tersebut, istilah “bentuk-bentuk terburuk kerja anak” mengandung
pengertian sebagai berikut:
1)
Segala
bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, misalnya:
a)
Penjualan
anak;
b)
Perdagangan
anak-anak;
c)
Kerja
ijon;
d)
Perhambaan
(perbudakan);
e)
Kerja
paksa atau wajib kerja;
f)
Pengerahan
anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2)
Pemanfaatan,
penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau
untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
3)
Pemanfaatan,
penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi
dan perdagangan obat-obatan.
4)
Pekerjaan
yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak
Dengan UURI Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan
Konvensi ILO nomor 182, maka Negara Republik Indonesia wajib mengambil
langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif
lain guna mencegah tindakan praktek memperkerjakan anak dalam bentuk-bentuk
terburuk kerja anak dalam industri maupun masyarakat.
- Undang Undang RI
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights)
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok
HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara
hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal.
Intinya kovenan ini mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial,
dan budaya, yang meliputi :
1)
Hak
atas pekerjaan,
2)
Hak
untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan,
3)
Hak
untuk membentuk dan ikut serikat buruh
4)
Hak
atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial,
5)
Hak
atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan
orang muda,
6)
Hak
atas standar kehidupan yang memadai,
7)
Hak
untuk menikmati standar kesehatan fi sik dan mental yang tertinggi yang dapat
dicapai,
8)
Hak
atas pendidikan , dan
9)
Hak
untuk ikut serta dalam kehidupan budaya.
- Undang Undang RI
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights)
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang
sipil dan politik yang tercantum dalam UDHR sehingga menjadi
ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan
dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal. Hak-hak sipil (kebebasan-kebebasan
fundamental) dan hak-hak politik meliputi hak-hak berikut :
Macam-macam Hak-hak
Sipil dan Hak-hak Politik
Hak-hak
Sipil / Kebebasan-kebebasan Fundamental
|
Hak – hak Politik
|
1)
Hak hidup;
2)
Hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat;
3)
Hak bebas dari perbudakan
4)
Hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang;
5)
Hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan negara manapun
termasuk negara sendiri;
6)
Hak persamaan di depan peradilan dan badan peradilan;
7)
Hak atas praduga tak bersalah.
8)
Hak kebebasan berpikir;
9)
Hak berkeyakinan dan beragama;
10)
Hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain;
11)
Hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
12)
Hak atas perkawinan/membentuk keluarga;
13)
Hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak
dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan
keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan;
14)
Hak persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan
15)
Hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
|
1) Hak untuk berkumpul yangbersifat
damai;
2) Hak kebebasan berserikat
3) Hak ikut serta dalam urusan publik;
4) Hak memilih dan dipilih;
5) Hak untuk mempunyai akses pada
jabatan publik di negaranya
|
2.
Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM
Bagaimana latar belakang lahirnya instrument
nasional HAM atau perundang undangan nasional HAM ? Jaminan hak asasi manusia
dalam UUD 1945 (sebelum perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum
disusun secara sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang hak asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti
HAM kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan
inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5
(lima) pokok mengenai hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh
UUD 1945, yaitu :
- Kesamaan kedudukan dan kewajiban
warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
- Hak setiap warga negara atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
- Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang (Pasal 28);
- Kebebasan asasi untuk memeluk
agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
- Hak atas pengajaran (Pasal 31
ayat 1).
Masuknya pasal-pasal HAM dalam UUD 1945 di
atas, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang
keberatan (terutama Soekarno dan Soepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukan (terutama Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang berbeda tersebut sebagaimana dituturkan Mr.
Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan
UUD 1945, Jilid I, antara lain sebagai
berikut.
Bung Karno menjelaskan bahwa
telah ditentukan sidang pertama bahwa ”kita
menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat
terhadap dasar individualisme. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet (undang-undang dasar) menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan member suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid
(keadilan sosial) yang demikian itu ? Buat apa
kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu
kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang
hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita
betul–betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham
kekeluargaan, faham tolong–menolong, faham gotong-royong
dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe pikiran,
tiap-tiap faham individualisme dan liberalism daripadanya.
Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat,
dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham
Panitia Perancang UUD satu-satunya jaminan, bahwa
bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian
hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang kemudian
didukung oleh Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta, antara lain menyatakan : “…Mendirikan negara yang baru,
hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat
supaya negara yang kita bikin jangan sampai
menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki
Negara Pengurus, kita membangun masyarakat
baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama,
tujuan kita adalah membaharui masyarakat. Tetapi
disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang
tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu
Negara Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara
rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga
negara jangan takut mengeluarkan suara”. Demikianlah
pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya kemudian
didukung oleh Muhammad
Yamin.
Dengan demikian memahami pokok-pokok hak asasi manusia
dalam UUD 1945 rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Bung
Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat
dalam kenyataan pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak
asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan
rakyat dan keadilan sosial sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa.
Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah.
Hal itu dapat dicermati bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi
manusia terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter.
Sampai memasuki abad ke-21 persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir.
Hanya saja persoalan HAM, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga
negara-negara yang otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi
manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia
internasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sebagai warga dunia dan
anggota PBB memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia. Begitu pula atas desakan masyarakat bagi pengembangan kehidupan
yang demokratis dan pelaksanaan HAM serta adanya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, maka dipandang perlu membentuk Undang-Undang
HAM. UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dalam suasana di atas.
3.
Kelembagaan HAM
Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM
telah dibentuk lembaga-lembaga resmi oleh pemerintah seperti Komnas HAM, Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Peradilan HAM dan lembaga-lembaga
yang dibentuk oleh masyarakat terutama dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM.
Uraian masing–masing sebagai berikut.
- Komnas HAM
Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk
dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban
terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional tentang
perlunya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya
UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalamnya mengatur
tentang Komnas HAM ( Bab VIII, pasal 75 s/d. 99) maka Komnas HAM yang terbentuk
dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan UURI Nomor 39 Tahun 1999.
Komnas HAM bertujuan:
1) Membantu pengembangan
kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia.
2) Meningkatkan perlindungan
dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas
HAM melaksanakan fungsi sebagai berikut :
1) Fungsi pengkajian dan
penelitian. Untuk melaksanakan fungsi ini, Komnas HAM berwenang antara lain:
a) Melakukan pengkajian dan
penelitian berbagai instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran -
saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi
b) Melakukan pengkajian dan
penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi
mengenai pembentukan
perubahan dan pencabutan peraturan perundang- undangan
yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
2)
Fungsi
penyuluhan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi ini, Komnas HAM berwenang:
a)
Menyebarluaskan
wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia.
b)
Meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal
dan non formal serta berbagai kalangan lainnya.
c)
Kerjasama
dengan organisasi, lembaga atau pihak lain baik tingkat nasional, regional,
maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3)
Fungsi
pemantauan. Fungsi ini mencakup kewenangan antara lain:
a)
Pengamatan
pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
b)
Penyelidikan
dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang patut
diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
c)
Pemanggilan
kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai atau
didengar keterangannya.
d)
Pemanggilan
saksi untuk dimintai dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu
diminta menyerahkan bukti yang diperlukan.
e)
Peninjauan
di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
f)
Pemanggilan
terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan
ketua pengadilan.
g)
Pemeriksaan
setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat lainnya yang diduduki
atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan ketua pengadilan.
h)
Pemberian
pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan terhadap perkara tertentu
yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat
pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah public dan acara pemeriksaan oleh
pengadilan yang kemudian pendapat komnas ham tersebut wajib diberitahukan oleh
hakim kepada para pihak.
4)
Fungsi
mediasi. Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang untuk melakukan
:
a)
Perdamaian
kedua belah pihak.
b)
Penyelesaian
perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
c)
Pemberian
saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
d)
Penyampaian
rekomendasi atas sesuatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah
untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya.
e)
Penyampaian
rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada DPR ri untuk
ditindaklanjuti.
Bagi setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan
kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan
lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan dilayani apabila
disertai dengan identitas pengadu yang benar
dan
keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
- Pengadilan HAM
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada
di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang
meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompk bangsa, ras, kelompok, etnis, dan agama. Cara yang dilakukan dalam kejahatan
genosida, misalnya ; membunuh, tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik
atau mental, menciptakan kondisi yang berakibat kemusnahan fisik, memaksa
tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran, memindahkan secara paksa anak-anak
dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sedangkan yang dimaksud kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap
kemanusiaan misalnya:
1)
Pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, penyiksaan;
2)
Pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa;
3)
Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar ketentuan pokok hukum internasional;
4)
Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
5)
Penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain
yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
6)
Penghilangan
orang secara paksa (penangkapan, penahanan, atau penculikan disertai penolakan
pengakuan melakukan tindakan tersebut dan pemberian informasi tentang nasib dan
keberadaan korban dengan maksud melepaskan dari perlindungan hukum dalam waktu
yang panjang);
7)
Kejahatan
apartheid (penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok ras atas kelompok ras
atau kelompok lain dan dilakukan dengan maskud untuk mempertahan peraturan
pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim).
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar
batas territorial wilayah negara RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI).
Disamping itu juga dikenal Pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum di undangkannya UURI Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak
mengenal kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan
pemberlakuan asas retroactive (berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat.
- Komisi Nasional
Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Komisi National Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir
berawal dari gerakan nasional perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai
sejak tahun 1997. Kemudian pada era reformasi, tanggung jawab untuk memberikan
perlindungan anak diserahkan kepada masyarakat.
Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan,
misalnya: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan,
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah yang lain.
KNPA juga yang mendorong lahirnya UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak. Disamping KNPA juga dikenal KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).
KPAI dibentuk berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia bertugas :
- Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak
- Mengumpulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
- Memberikan laporan, saran, masukan, dan
pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Misalnya
untuk tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI meminta
pemerintah segera membuat undang-undang larangan merokok bagi anak atau
setidak-tidaknya memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU Kesehatan
(yang sedang dalam proses amandemen) dan atau UU Kesejahteraan Sosial
(yang sedang dalam proses pembuatan). KPAI sangat prihatin karena jumlah
anak yang merokok cenderung semakin meningkat. KPAI menunjukan data
perkembangan anak yang merokok dari tahun 2001-2004 sebagai berikut:
a)
Jumlah
perokok pemula usia 5-9 tahun meningkat 400% (dari 0,89% menjadi 1,8 %);
b)
Perokok
usia 10-14 tahun naik 21 % (dari 9,5 % menjadi 11,5 %);
c)
Perokok
usia 15-19 tahun naik menjadi 63,9% ; KPAI juga mencatat konsumsi rokok tahun
2006 mencapai 230 milyar batang padahal tahun 1970 baru 33 milyar, akibatnya 43
juta anak terancam penyakit mematikan (Wawancara Ketua KPAI dengan RCTI tanggal
15 Februari 2008)
- Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk
berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi
Nasional ini
adalah
sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan. Komisi Nasional ini bersifat independen dan bertujuan:
- Menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan
terhadap perempuan.
- Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan
bentuk kekerasan terhadap perempuan.
- Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, Komisi
Nasional ini memiliki kegiatan sebagai berikut:
1)
penyebarluasan
pemahaman, pencegahan, penanggulangan, penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan.
2)
pengkajian
dan penelitian terhadap berbagai instrument PBB mengenai perlindungan hak asasi
manusia terhadap perempuan.
3)
pemantauan
dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memberikan
pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
4)
penyebarluasan
hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan
kepada masyarakat.
5)
pelaksanaan
kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
kekerasan terhadap perempuan.
- Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk berdasarkan
UURI Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Keberadan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk :
1)
Memberikan
alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar Pengadilan HAM ketika
penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad
Hoc mengalami kebuntuan;
2)
Sarana
mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk menyelesaikan
di luar pengadilan HAM.
Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM
berat dapat diselesaikan, sebab kalau tidak dapat diselesaikan maka akan
menjadi ganjalan bagi upaya menciptakan rasa keadilan dan kebenaran dalam masyarakat.
Apabila rasa keadilan dan keinginan masyarakat untuk mengungkap kebenaran dapat
diwujudkan, maka akan dapat diwujudkan rekonsiliasi (perdamaian/perukunan
kembali). Rekonsiliasi ini penting agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat
dihindarkan dari konflik dan dendam sejarah yang berkepanjangan antar sesama
anak bangsa. Perdamaian sesama anak bangsa merupakan modal utama untuk membangun
bangsa dan negara ini ke arah kemajuan dalam segala bidang.
- MLSM Pro-demokrasi
dan HAM
Disamping lembaga penegakan hak asasi manusia yang
dibentuk oleh pemerintah, masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga HAM.
Lembaga HAM bentukan masyarakat terutama dalam bentuk
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (Non Governmental Organization) yang programnya berfokus pada
upaya pengembangan kehidupan yang demokratis (demokratisasi)
dan pengembangan HAM. LSM ini sering disebut
sebagai LSM Prodemokrasi dan HAM. Yang termasuk
LSM ini antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia), Kontras (Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan), Elsam (Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat), PBHI (Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Indonesia). LSM yang
menangani berbagai aspek HAM, sesuai dengan
minat dan kemampuannya sendiri pada umumnya terbentuk
sebelum didirikannya Komnas HAM.
Dalam pelaksanaan perlindungan dan
penegakkan HAM, LSM tampak merupakan mitra kerja Komnas HAM. Misalnya, LSM mendampingi para korban pelanggaran HAM ke Komnas HAM. Di berbagai daerah-pun kini telah
berkembang pesat LSM dengan minat pada aspek
HAM dan demokrasi maupun aspek kehidupan yang
lain. Misalnya di Yogyakarta terdapat kurang
lebih 22 LSM. LSM di daerah Yogyakarta ada
yang merupakan cabang dari LSM Pusat (Nasional) juga
ada yang berdiri sendiri.
RESUME BAB II
GAMBARAN UMUM
KONSEP HUKUM
Pembangunan
yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang selalu mampu
mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum
modern. Hal ini karena hukum merupakan sarana pembangunan. Konsep tersebut di
adopsi dari pendapat Roscoe Pound, yaitu “law as a tool of social engineering”,
yang artinya hukum merupakan suatu alat yang ampuh untuk mencapai pembaharuan
masyarakat.
Hukum
tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya
kaidah itu dalam kenyataan di masyarakat. Asas dan kaidah menggambarkan hukum
sebagai gejala normatif, sedangkan lembaga dan proses menggambarkan hukum
sebagai gejala sosial. Hukum sebagai gejala normatif, diartikan bahwa bentuk
hukumnya yang dikehendaki adalah perundang-undangan, sedangkan hukum sebagai
gejala sosial berarti faktor-faktor non yuridis, sepeti dikatakan Kelsen dalam
teori murni tentang hukum, yaitu: “Filosofis, Etis, Sosiologis, Ekonomis, dan
Politis” perlu diperhatikan. Sebagai cerminan suasana pembangunan (das sein)
harus di-sollen-kan, yaitu pasal-pasal perundang-undangan mana yang harus
diperbaiki, disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan.
Dalam
menggagas dan membahas konsep-konsep hukum dalam pembangunan, penulis buku juga
memperhatikan pandangan aliran hukum alam tentang nilai-nilai moral tertinggi
yaitu keadilan. Kemudian pandangan Mazhab Sejarah tentang lembaga hukum adat,
juga pandangan Sosiological Jurisprudence, karena lembaga dan proses
merupakan cerminan dari living law, yaitu sumber hukum tertulis dan
tidak tertulis yang hidup (fromal).
Hukum
adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan. Kaidah dan asas merupakan kaidah (hukum) yang kemudian ditarik
menjadi asas. Hal ini erat kaitannya dengan yurisprudensi, karena setelah
putusan tersebut dibuat/ditarik asas sebagai sumber hukum/patokan untuk hakim
yang akan datang. Mewujudkan berlakunya hukum dalam kenyataan, menggambarkan
pengertian yang lebih luas, yaitu sumber hukum (formal) tertulis dan tidak
tertulis.
Dalam
pembinaan hukum perlu diperhatikan perbedaan antara hukum yang bersifat
sensitif dan hukum yang bersifat netral. Diusahakan untuk mendahulukan hukum
yang bersifat netral, sedangkan yang bersifat sensitif dibiarkan lebih dahulu
untuk diatur kemudian. Hukum yang bersifat sensitif adalah hukum yang
menyangkut bidang-bidang budaya dan keyakinan masyarakat, seperti: Hukum
Keluarga, Hukum Perkawinan, Hukum Harta Perkawinan, dan Hukum Waris. Sedangkan
yang dimaksud sebagai hukum yang bersifat netral, yaitu semua hukum (yang bukan
bersifat sensitif) termasuk yang berkaitan dengan misalnya ketentuan-ketentuan
hukum tentang AFTA, APEC, dan WTO. Juga termasuk di dalamnya sistem hukum
negara-negara komunis, asal tidak bertentangan dengan idiologi negara, yaitu
Pancasila.
A. Fungsi
dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional
Ketertiban
adalah tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat pokok (fundamental)
bagi adanya suatu masyarakat manusia
yang teratur. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya
rasa keadilan yang berbada-beda isi dan
ukurannya, menurut masyarakat dan
zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya
kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat.
Adanya hukum
sebagai kaidah sosial, tidak berarti
bahwa pergaulan antaramanusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum.
Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat dipedomani moral manusia
itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat
kebiasaan, dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah
sosial lainnya ini, terdapat jalinan hubungan yang erat, yang satu memperkuat
yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah
sosial lainnya itu.
Hukum
memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri
ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Hal ini sesuai dengan slogan bahwa: Hukum
tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kedzaliman.
Kekuasaan merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam
arti masyarakat yang di atur oleh dan berdasarkan hukum.
Hukum sebagai
kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu
masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang
tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat itu.
Hukum
merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyaakat. Mengingat
fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif. Artinya, hukum
bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian
diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun,
karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan
diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi
kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki
fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat
itu.
B. Pembinaan
Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional
Pembangunan
dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan. Semua masyarakat
yang membangun dicirikan oleh perubahan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah
untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan
yang teratur dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan
atau kombinasi dari kedua-duanya. Perubahan yang teratur melalui prosedur
hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan
lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan
semata-mata.
Menurut
Tasrif, terutama dalam negara yang sedang berkembang yang kebanyakan atau
hampir semua adalah negara-negara bekas jajahan yang mewarisi perundang-undangan
kolonial, pembinaan hukum melalui
perundang-undangan baru memegang peranan yang sangat penting. Lebih lanjut
Tasrif mengemukakan untuk mewujudkan cita-cita tegaknya Rule of Law di
negara kita itu hendaknya terutama para pejabat tidak dilupakan, bahwa konsep
itu menurut R. Ramani setidak-tidaknya harus mencakup tiga pengertian:
1.
Setiap orang tanpa membedakan kedudukannya harus tunduk kepada undang-undang yang
berlaku dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka pengadilan biasa;
2.
Hukum harus berdasarkan moral dan adalah keadilan
bukannya kekuasaan yang harus menjadi dasar sejati dari suatu masyarakat, baik
nasional maupun internasional;
3.
Kekuasaan pemerintah janganlah hendaknya digunakan
tanpa pembenaran (justification) yang dapat diterima untuk mengurangi
atau menyingkirkan hak-hak individu, kecuali apabila tindakan-tindakan
pemerintah itu terpaksa dilakukan demi kepentingan umum, sedangkan intervensi
pemerintah sedemikian harus didasarkan kepada kaidah-kaidah dan norma-norma
objektif yang di dalam setiap keadaan dapat diselidiki dan diuji ada atau tidak
ada keharusannya oleh kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala pengaruh.
Kesukaran-kesukaran
yang dihadapi dalam mengembangkan hukum sebagai suatu alat pembaharuan
masyarakat yang dijalankan secara berencana dan dapat diperhitungkan,
digolongkan dalam tiga sebab kesulitan sebagai berikut:
1.
Sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum
(pembaharuan)
2.
Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk
mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif
3.
Sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur
berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum.
Apabila kita
mendekati pembinaan hukum nasional secara menyeluruh sebagai bagian dari
pembangunan nasional, kiranya kita menetapkan tiga kelompok masalah (problem
areas), yang intinya yakni:
1.
Inventarisasi dan dokumentasi hukum yang berlaku.
2.
Media dan personal (unsur manusia).
3.
Perkembangan hukum nasional.
C. Pembaharuan
Pendidikan Hukum dan Pembinaan Profesi
Pembaharuan
pendidikan hukum nasional dalam arti luas adalah re-orientasi yang dihubungkan
dengan kebutuhan Indonesia sebagai masyarakat dalam pembangunan. Pembaharuan
pendidikan hukum di Indonesia sebagai negara merdeka yang sedang berkembang
tidak hanya berarti perbaikan mutu pendidikan saja melainkan terutama persoalan
penentuan arah atau orientasi baru dari pendidikan.
Pembaharuan
kurikulum merupakan salah satu hal yang urgen untuk dilakukan dalam rangka
pembaharuan pendidikan hukum. Kurikulum Minimum Fakultas Hukum apabila ditelaah
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Menetapkan
syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi kurikulum suatu Fakultas
Hukum;
2.
Menetapkan uniformasi antara kurikulum-kurikulum
Fakultas Hukum dalam batas Minimum Kurikulum, tanpa menutup kemungkinan variasi
dari tempat ke tempat sesuai dengan keadaan dan kemampuan;
3.
Mengadakan suatu permulaan spesialisasi tanpa
meninggalkan adanya suatu pendidikan dasar yang bersifat umum sampai di tahun
keempat;
4.
Membuka kemungkinan bagi cara pendekatan multi
dan interdisipliner dengan adanya mata-mata pelajaran pilihan yang tidak
usah diikuti pada Fakultas Hukum saja.
Upaya lain
dalam pembaharuan pendidikan hukum adalah pendidikan klinis hukum, yang
bermaksud mengajarkan beberapa keterampilan teknik hukum yang akan dibutuhkan
oleh calon penuntut umum, hakim dan pengacara bila terjun ke masyarakat setelah lulus dari Fakultas Hukum,
merupakan suatu segi yang harus diperhatikan apabila tujuan pendidikan hukum
untuk kebutuhan negara merdeka yang sedang berkembang hendak mempunyai arti.
Hal ini karena tanpa keterampilan-keterampilan teknis (legal skill),
tujuan yang hendak dicapai dengan pendidikan yang hendak diperbaharui itu tidak
akan dapat dirasakan manfaatnya dalam kenyataan.
Pendidikan
klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan keterampilan
teknis, melainkan juga harus menghadapkan mahasiswa pada kondisi yang akan
dijumpainya dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan
atau sikap terhadap suatu masalah yang dapat disebut suatu problem solving
attitude.
Pendidikan
keterampilan teknis di bidang hukum yang mengabaikan segi yang menyangkut
tanggung jawab seseorang terhadap orang yang dipercayakan kepadanya dan
profesinya pada umumnya serta nilai-nilai dan ukuran etika yang harus menjadi
pedoman dalam menjalankan profesinya hanya akan menghasilkan tukang-tukang yang
terampil belaka di bidang hukum dan profesinya.
Keadaan
demikian tidak saja menjadikan pendidikan klinis itu tidak lengkap karena calon
anggota profesi itu tidak tahu bagaimana ia harus menggunakan keterampilan
teknis yang diperolehnya itu. Bahkan, tidak berlebihan kiranya apabila
dikatakan bahwa pendidikan keterampilan teknis tanpa disertai pendidikan
tanggung jawab profesional dan etika adalah berbahaya.
Etika hukum
baik yang umum, maupun yang bersifat khusus berupa professional ethic
merupakan bentuk penuangan konkret dari aturan-aturan etika, noral, dan agama.
Pendidikan etika hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses pembentukan watak
atau pribadi yang baik yang diperlukan bagi penerapan hukum yang baik dalam
segala bentuknya.
D. Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional
Pemikiran
tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat tergantung kepada konservatif
atau tidaknya golongan yang berkuasa. Negara-negara otokratis yang dikuasai
oleh golongan yang eksklusif cenderung untuk menolak perubahan. Karena itu,
akan cenderung pada pemikiran tentang hukum yang konservatif. Negara-negara
maju yang telah mencapai keseimbangan dalam kehidupan politik, ekonomi dan
kemasyarakatan juga akan cenderung untuk konservatif dalam pemikirannya tentang
hukum.
Di
negara-negara yang baru merdeka yang sedang berkembang paling tidak ada dua
faktor yang akan mendesak diambilnya sikap yang progresif tentang hukum dan
peranannya dalam masyarakat yakni: keinginan untuk menghapuskan peninggalan
kolonial secepat-cepatnya, dan harapan yang ditimbulkan pada masyarakat dengan
tercapainya kemerdekaan. Oleh karena itu, kiranya wajar kita menggantikan
pemikiran hukum yang konservatif yang diwariskan pemerintah dan sistem pendidikan
kolonial dengan suatu pemikiran hukum yang lebih memperhatikan kebutuhan
masyarakat yang sedang membangun.
Dalam
masyarakat yang sedang membangun hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat
didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu
merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.
Anggapan lain
yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa
hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat
(pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke
arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Perkembangan
di negara-negara berkembang yang memiliki rezim otokrasi yang tidak terlalu
memperhatikan atau mempergunakan hukum sebagai sarana pengatur masyarakat,
selalu dihadapkan pada dilema ini, yaitu di satu pihak bagaimana memelihara ‘elan
(semangat) revolusi, di satu pihak, tanpa mengorbankan pemeliharaan hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai, atau sebaliknya.
Karena baik
perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari
masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak
dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Untuk itu mekanisme pelaksanaan
konsep hukum sebagai sarana pembangunan perlu memperhatikan alur proses
penyusunan perundang-undangan, yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1.
Tahap persiapan dan perancangan yang
diawali atau dimulai dari lahirnya prakarsa atau inisiatif.
2.
Tahap pembahasan atau pembicaraan guna
mendapat persetujuan dari lembaga yang berwenang.
3.
Tahap penetapan atau pengesahan.
4.
Tahap pengundangan atau pengumuman agar
peraturan tersebut diketahui dan ditaati oleh seluruh warga negara.
E. Pengambilan
Kekayaan Alam di Dasar Laut dan Tanah di Bawahnya (Seabed and Subsoil)
dan Hukum Internasional
Mengingat
pentingnya minyak bumi sebagai penghasil devisa, kita harus berusaha
mempertahankan kalau tidak memperbesar bagian kita dalam pasaran minyak dunia
di samping memenuhi kebutuhan dalam negara yang terus meningkat. Di samping
minyak, gas bumi dewasa ini merupakan suatu sumber kekayaan yang penting berkat
kemajuan teknologi perminyakan.
Berkurangnya
cadangan minyak bumi dari sumber-sumber yang sedang digali di darat, mendorong
orang terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II untuk mencari minyak bumi di
bawah dasar laut, walaupun ongkos eksplorasi dan eksploitasinya jauh lebih
mahal yaitu antara dua sampai sepuluh kali lipat ongkos produksi minyak dari
sumber di darat.
Eksplorasi dan
eksploitasi sepanjang terletak dalam batas-batas wilayah perairan Indonesia
sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 4 tahun 1960, pemberi izin itu didasarkan
atas hak negara yang meliputi segala kekayaan alam yang terdapat di bumi, termasuk
perairan wilayah dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Di luar batas-batas
wilayahnya, hak atas kekayaan alam yang terdapat pada dasar laut dan tanah di
bawahnya (seabed and subsoil) didasarkan atas konsep continental
shelf.
Pengertian continental
shelf yang mula-mula digunakan dalam Proklamasi Truman di tahun 1945, telah
berkembang menjadi suatu pengertian hukum yang sama namanya, tetapi berlainan
isinya, walaupun dasar hak suatu negara atas daerah bawah permukaan laut yang
berbatasan dengan pantainya tetap sama, yakni asas kedekatan atau contiguity.
Untuk membedakan dua pengertian yang berlainan isinya itu, dalam bahasa
Indonesia kita gunakan dataran kontinen untuk pengertian continental shelf
dalam arti geologis, sedangkan pengertian hukum yang kemudian berkembang
dinamakan landas kontinen.
Pasal 2 ayat
(1) Konvensi Jenewa tahun 1958 mengenai Landas Kontinen menyatakan bahwa negara
pantai memiliki “hak-hak kedaulatan untuk melakukan eksplorasi di landas
kontinen dan menggali kekayaan alam yang terdapat di dalamnya”. Perumusan ini
merupakan kompromi antara pendirian pihak yang menghendaki pengakuan kedaulatan
penuh negara pantai atas landas kontinen, dengan pihak yang hanya mengakui
hak-hak yang lebih terbatas. Selanjutnya bahwa “hak-hak kedaulatan untuk
ekplorasi dan eksploitasi” tidak sama dengan hak kedaulatan penuh negara
pantai.
Indonesia
mempunyai hak eksklusif untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan
alam di landas kontinen yang berbatasan dengan pantainya. Hal ini didasarkan
atas hukum kebiasaan internasional yang telah tumbuh dan berkembang berdasarkan
praktik negara bertalian dengan continental shelf tahun 1958 yang dapat
diangap sebagai kodifikasi dari hukum yang berlaku di bidang ini.
F. IMCO
dan Pembinaan Hukum Pelayaran Nasional
IMCO (Intergovernmental
Maritime Cosultative Organization) merupakan badan khusus PBB yang mengurus
bidang maritim didirikan di Jenewa pada tahun 1948 dengan diterimanya suatu
konvensi tentang didirikannya IMCO oleh United Nation Maritime Conference
di Jenewa.
Tujuan utama
dari IMCO adalah memajukan kerja sama antara negara-negara anggota dalam
masalah-masalah teknis di bidang pelayaran, dengan perhatian khusus tentang
keselamatan di laut dan untuk menjamin tercapainya taraf keselamatan serta
efisiensi pelayaran setinggi-tingginya. Adapun kegiatan IMCO secara garis
besarnya meliputi antara lain:
1.
Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan
keselamatan maritim dan efisiensi pelayaran;
2.
Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan
dan pengawasan pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kapal-kapal,
serta masalah-masalah yang berhubungan dengan hal itu;
3.
Kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan
perkapalan serta kegiatan-kegiatan laut yang berhubungan dengan itu khususnya
mengenai bantuan di bidang teknis kepada negara-negara berkembang.
Kewajiban
suatu negara pantai untuk memelihara perambuan dan sistem navigational aids
lainya dalam keadaan baik sebagai syarat untuk tidak hilangnya hak negara
pantai mendapat ganti kerugian, hendaknya menjadi pendorong hambatan bagi kita
uantuk segera memberikan perhatian dan prioritas sebesar-besarnya kepada
masalah ini. Perairan Indonesia sudah terkenal di kalangan pelayaran
internasional sebagai suatu red zone, daerah bahaya, karena perambuan,
mercusuar, pemetaan laut dan pemberian tanda-tanda bahaya, bagi navigasi berada
pada taraf dekat tingkat minimal. Keadaan ini tidak membantu kelancaran
hubungan internasional di perairan kita dan sudah barang tentu mempunyai
pengaruh buruk terhadap kedudukan bersaing (competitive position)
barang-barang ekspor kita.
G. Pemantapan
Citra Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang
Dalam negara
hukum, kekuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu tunduk pada
hukum. Secara populer dikatakan bahwa negara hukum adalah negara berdasarkan
hukum, dan kekuasaan harus tunduk pada hukum. Di negara hukum semua orang
berkedudukan sama di hadapan hukum. Ini berarti bahwa hukum memperlakukan semua
orang sama tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama,
kedudukan sosial dan kekayaan.
Sebagai negara
hukum, dalam membangun hukum nasional perlu diutamakan asas-asas yang umum diterima bangsa-bangsa
tanpa meninggalkan asas-asas hukum asli atau hukum adat yang masih berlaku dan
relevan dengan kehidupan dunia modern. Sangat penting pula secara politis bahwa
perlu dipertahankan asas-asas yang merupakan pencerminan dari tekad dan
aspirasi sebagai bangsa yang mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan. Di
antara asas-asas hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Asas Kesatuan dan Persatuan atau Kebangsaan
mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku
bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum nasional berfungsi mempersatukan bangsa
Indonesia.
2.
Asas Ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada
produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau
bermusuhan dengan agama.
3.
Asas Demokrasi mengamanatkan bahwa dalam hubungan
antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
4.
Asas Keadilan Sosial mengamanatkan bahwa semua warga
negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar